Kolaborasi Pemerintah dan Orang Tua di Era Konektivitas Tanpa Batas jadi Benteng Anak Agar Aman di Ruang Digital
INTERNET : Raffael Sutanto sedang mengawasi dua adiknya yang mengakses internet untuk kegiatan belajar. Kementerian Komdigi menerbitkan PP TUNAS untuk melindungi anak dari kejahatan di ruang digital. (FOTO/KABARINDO.COM)
PASURUAN -- Di tengah gelombang digitalisasi yang tak terhindarkan, ruang digital atau ruang daring telah menjadi arena baru bagi tumbuh kembang anak-anak. Tak sekadar sebagai ajang belajar, ruang digital kini dijakadikan oleh anak-anak untuk mencari pengalaman baru dalam mengarungi kehidupan usia dini.
Hari menjelang gelap, matahari sudah tergelincir di ufuk barat. Raffael Sutanto (16) pelajar kelas 1 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terlihat serius mengawasi dua adiknya, Muhammad Uwais Al-Qarni Sutanto (10), dan Muhammad Zafran Al Ghifari Sutanto (10). Sesekali dia memberi nasihat kepada dua adiknya yang duduk di bangku kelas 4 dan kelas 2 Sekolah Dasar (SD). Gawai yang digunakan tak memiliki spesifikasi mumpuni, tetapi cukup mampu untuk mengakses beragam kebutuhan informasi. Di rumahnya, Kelurahan Bendomungal, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, kecepatan internet sangat tinggi.
“Jika ada video kekerasan langsung di pencet tanda silang ya, supaya videonya tertutup,”ujarnya. Bahkan, Raffael pun mengajarkan dua adiknya untuk memilih konten edukatif, melalui perintah suara (voice). “Kalian tinggal bilang saja di mikrofon, misalnya mengaji. Ucapkan di dekat mikrofon, nanti ada pilihan video,”katanya. Dua adiknya menyimak dengan seksama penjelasan dan nasihat kakaknya.
Apa yang dilakukan Raffael bukan tanpa alasan, dia mendapat tugas dari orang tuanya untuk menjaga adiknya dari kemungkinan mengakses konten-konten yang membahayakan. “Setiap sore hingga menjelang maghrib dua adik saya belajar menggunakan piranti elektronik dengan akses internet. Satu laptop untuk rame-rame, kami lima bersaudara dan semuanya sekolah,”ujarnya saat ditemui, Rabu (8/10/2025).
Raffael rela mewakafkan waktunya untuk menjaga adik-adiknya saat melakukan pembelajaran melalui medium gawai lantaran ayahnya harus mencari nafkah dari siang hingga hari berganti malam. “Ayah pulang pelas Isya, jadi saya atau kakak yang bergantian menjaga adik-adik setiap hari,”ungkapnya.
Layaknya dunia nyata, ruang digital juga menyimpan potensi bahaya, mulai dari paparan konten negatif, perundungan siber (cyberbullying), hingga risiko eksploitasi data pribadi. Menjaga ruang digital agar tetap aman dan positif bagi generasi penerus bukan lagi pilihan, melainkan sebuah kewajiban. Pengalaman mengelola akses digital bagi remaja seusia Raffael memberikan perspektif unik tentang bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan beradaptasi dengan teknologi dan keharusan untuk melindungi diri mereka.
Teknologi ibarat pisau bermata dua, sangat membantu untuk kegiatan belajar, menambah ilmu dan wawasan, tapi di lain sisi, bisa melukai jika salah digunakan. “Orang tua kami memberikan batasan yang ketat, mana yang boleh diakses, mana yang tidak,”kata Raffael. Akses digital hanya diperbolehkan pada perangkat bersama dan digunakan untuk tujuan edukasi atau permainan yang sudah dipilih. “Smartphone ada dua, untuk berlima. Durasi sangat dibatasi, kami tidak boleh mengaksses internet seharian. Hanya jam tiga sore hingga jam delapan malam, kecuali ada tugas dari sekolah,”paparnya.
Dia bercerita, saat usia SMP, dirinya diizinkan menggunakan gawai, dengan akses ke platform media sosial tertentu yang memerlukan izin dari ayahnya. Himawan Sutanto, ayah Raffael, memasang fitur kontrol orang tua (parental control) untuk membatasi jenis aplikasi dan jam penggunaan. "Ayah menetapkan, jam bebas untuk mengakses internet. Tetapi platform yang bisa diakses dibatasi. Meskipun kami anak-anaknya sempat protes, setelah diberikan penjelasan, saya termasuk kakak saya tertua yang kelas 3 SMA bisa menerima,”imbuhnya.
Raffael mengatakan, dia dan saudara-saudarinya diwajibkan terbuka mengenai akun-akun sosial media yang mereka miliki. Meskipun tersesan terlalu ketat, namun mereka menyadari bahwa apa yang dilakukan orang tuanya demi kebaikan diri mereka. “Kami tidak merasa dimata-matai atau diintip. Malah, kami berteman di media sosial,”ungkapnya.
Sang ayah, Himawan Sutanto (45) saat ditemui Kamis (8/10/2025)mmalam meengungkapkan, pengawasan yang dia lakukan tidak dengan diam-diam memeriksa ponsel anak, melainkan melalui dialog dan menumbuhkan kepercayaan. "Saya berikan penjelasan ke anak-anak bahwa tujuan saya mengawasi adalah melindungi, bukan memata-matai. Saya buka ruang diskusi dengan mereka,”sebutnya.
Himawan merasa pengawasan dan pembatasan yang dia lakukan akan membentuk kedewasaan digital pada anak. Terlebih, ruang digital bergerak jauh lebih cepat dari pemahaman orangtua. “Karenanya, saya pun terus belajar agar tidak gaptek. Karena zaman sekarang, anak-anak lebihlihai mengakses internet, berbeda dengan kita-kita yang masuk kategori gen X atau millenial awal,”paparnya.
Himawan pun bersyukur bisa berkolaborasi dengan sekolah tempat anaknya mengenyam pendidikan untuk menjaga anak-anaknya dari potensi kejahatan di ruang digital. “Para guru sangat membantu mengedukasi anak-anak agar lebih bijak dalam mengakses internet,”katanya.
Judi online, pornografi, perundungan, hingga kekerasan seksual dinilainya semakin mengancam anak-anak di ruang digital. Tanpa pengawasan yang ketat, anak-anak semakin rentan menjadi korban eksploitasi dan kejahatan daring. Dia pun berharap, kolaborasi antara sektor pendidikan, pemerintah daerah, hingga pemerintah pusat terus ditingkatkan. “Kolaborasi sangat penting, karena tumbuh tembang anak kini tak bisa lepas dari pengaruh digitalisasi. Pembatasan akses untuk anak, penyaringan konten, masalah syarat dan ketentuan agar anak bisa mengakses atau tidak, tentu perlu keterlibatan pemerintah. Karena saya sebagai orang tua tentu memiliki keterbatasan pemahaman,”tutupnya.
Gotong Royong untuk Mewujudkan Generasi Emas
Menjaga ruang digital bagi anak memerlukan proses kolaboratif yang menuntut kehadiran negara, penyedia platform, dan yang terpenting, kehadiran orang tua. Dengan akses yang terencana dan pengawasan yang nyata, teknologi bisa menjadi sarana pendukung tumbuh kembang anak, bukan sebaliknya.
Saat ini, peran anak sangat vital dalam mewujudkan Indonesia Emas, karena mereka akan menjadi tulang punggung bangsa pada tahun 2045. Anak-anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang saat ini adalah "Generasi Emas" yang akan mewarisi dan memimpin negara di masa depan.
Visi besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, maju, adil, dan makmur pada tahun 2045, yang menandai 100 tahun kemerdekaan bangsa. Visi ini berpusat pada penciptaan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dengan empat pilar utama yakni pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.
Menyadari potensi dan peran anak, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melakukan gerak cepat dengan menerbitkan regulasi.
Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS). Regulasi yang ditetapkan pada 28 Maret 2025 dan mulai berlaku pada 1 April 2025 itu menjadi dasar hukum kuat bagi negara untuk menghadirkan ruang digital yang aman, sehat, dan berkeadilan.
Dikutip dari keterangan tertulis Kementerian Komdigi, di tengah pesatnya arus informasi, ancaman terhadap kelompok rentan terutama anak-anak semakin nyata. Paparan konten berbahaya, manipulatif, hingga eksploitasi digital telah menjadi keresahan bersama. Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menegaskan, PP TUNAS adalah respons strategis pemerintah untuk mengatasi persoalan ini secara sistematis.
"Kami di Komdigi tidak hanya melihat dampaknya (ruang digital) terhadap anak-anak, tetapi kepada keseluruhan. Bagaimana ruang digital ini berdampak kepada seluruh warga negara yang menggunakan," ujar Meutya.
Menteri Komdigi Meutya Hafid menegaskan komitmen pemerintah melindungi anak-anak di ruang digital.
Menteri yang juga mantan jurnalis ini menehgaskan, PP TUNAS secara khusus mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menyaring konten yang berpotensi membahayakan anak-anak, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, serta memastikan proses remediasi yang cepat dan transparan.
Selain itu, PP ini mengatur kewajiban PSE untuk memverifikasi usia pengguna dan menerapkan pengamanan teknis yang dapat memitigasi risiko paparan konten negatif. Bagi pelanggar, PP TUNAS menetapkan sanksi administratif hingga pemutusan akses terhadap platform yang tidak patuh.
"Kita melihat ada aplikasi-aplikasi yang memang nakal. Ini bukan semata hasil algoritma yang menyesuaikan minat pengguna, tapi ada kecenderungan konten-konten ini memang sengaja diarahkan ke kelompok rentan termasuk anak-anak," tegasnya.
Data terbaru menunjukkan bahwa 48% persen pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun, menjadikan regulasi ini sangat mendesak. Meutya menekankan bahwa PP TUNAS tidak hanya melindungi anak-anak, tetapi menciptakan ruang digital yang aman untuk semua pengguna.
"Ketika keamanan ekosistem digital diperkuat, yang diuntungkan bukan hanya anak-anak tapi juga semua orang yang berada di ranah digital. Kita ingin semua pihak nyaman, karena aturannya jelas seperti aturan main di pasar," jelas Meutya.
PP TUNAS lahir untuk memperkuat kolaborasi pemerintah dengan seluruh pemangku kepentingan digital. Pemerintah membuka ruang dialog untuk penyempurnaan regulasi dan mendorong komitmen kolektif dari seluruh platform digital.
"Platform digital harus siap menerima kritik. Banyak dari mereka yang niatnya baik dan kita hargai itu. Tapi negara tetap harus hadir mengatur ketika ada yang menyalahgunakan ruang digital,"imbuhnya.
Dengan dasar hukum yang jelas dan mekanisme pengawasan yang diperkuat, PP TUNAS diharapkan menjadi pondasi bagi ekosistem digital Indonesia yang lebih aman, beretika, dan berpihak kepada kepentingan nasional.
Sedangkan Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komdigi Fifi Aleyda Yahya menegaskan, PP TUNAS tak sekadar regulasi, tetapi fondasi kebijakan nasional untuk memastikan keamanan anak di dunia maya.
“Kami mendorong platform digital untuk menyediakan fitur keamanan yang mudah digunakan, termasuk sistem klasifikasi usia dan kontrol orang tua. Ini bukan sekadar fitur tambahan, tapi instrumen utama perlindungan anak,” ujar Fifi.
Melalui PP TUNAS, setiap PSE diwajibkan menyediakan fitur parental control yang efektif, menetapkan privasi tinggi secara default untuk akun anak, serta melarang pelacakan lokasi dan profiling data anak untuk kepentingan komersial.
Dirjen Firi menjelaskan, pemerintah mengapresiasi langkah platform digital yang telah proaktif menerapkan fitur keamanan anak, seperti yang dilakukan oleh Netflix.
“Fitur seperti parental control dan klasifikasi usia memberi orang tua kendali lebih besar, sekaligus menghadirkan ketenangan bahwa anak-anak menjelajahi ruang digital yang aman,”imbunya.
PP TUNAS lahir di tengah lonjakan ancaman digital terhadap anak-anak Indonesia. Data dari National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) menyebutkan, Indonesia sebagai negara keempat dunia dalam kasus pornografi anak. Sementara UNICEF, badan PBB yang bertugas melindungi hak-hak anak di seluruh dunia. menyebut 89% anak Indonesia mengakses internet rata-rata 5,4 jam per hari, dan hampir separuh terpapar konten seksual. Data Badan Pusat Statistik pada 2021 mencatat bahwa 89 persen anak usia lima tahun ke atas menggunakan internet hanya untuk media sosial, yang meningkatkan risiko mereka terpapar konten berbahaya. Kasus judi online, pornografi, perundungan, dan kekerasan seksual terus mendominasi aduan yang diterima oleh Kementerian Komdigi.
“Dari akhir 2024 hingga pertengahan 2025, Komdigi menangani lebih dari 1,7 juta konten perjudian online dan hampir 500 ribu konten pornografi,” ungkap Fifi.
Pemerintah, kata Fifi, mendorong pendekatan tiga pilar, yaitu regulasi, edukasi, dan kolaborasi.
Komdigi hadir bukan hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai penggerak ekosistem digital yang aman dan inklusif, terutama bagi generasi muda. “Anak-anak kita tumbuh di dunia di mana layar bisa jadi guru, sahabat, sekaligus ruang bermain mereka. Maka, platform seperti Netflix bukan hanya hiburan, tapi pintu ke literasi, budaya, dan interaksi global,” tutupnya
Regulasi yang diterbitkan Kementerian Komdigi itu mendapat respons positif dari kalangan stakeholder. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) salah satunya. KPAI mendukung penerbitan PP TUNAS.
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menilai, peraturan tersebut memerlukan keterlibatan aktif orang tua, sekolah, maupun lingkungan terhadap anak dalam menggunakan media sosial. “Pengawasan perlu agar kebutuhan anak dalam tumbuh kembang, tidak didominasi oleh ruang digital media sosial yang tidak mudah diawasi,” katanya.
Pengamat Kebijakan Publik yang juga Direktur Dehills Institute Hasyim Arsal Alhabsi berpendapat, pengawasan ruang digital bagi anak sangat penting karena memberikan perlindungan dari berbagai risiko dan ancaman yang ada di dunia maya. Meskipun ruang digital menawarkan banyak manfaat, anak-anak, terutama yang belum memiliki literasi digital yang memadai, sangat rentan terhadap dampak negatif yang dapat memengaruhi perkembangan mental, emosi, dan fisiknya. “Karena itu, regulasi PP TUNAS yang diterbitkan Kementerian Komdigi itu merupakan bukti nyata bahwa negara hadir untuk melindungi generasi penerus bangsa,”ucapnya.
Hasyim menambahkan, regulasi tersebut memberikan kesempatan bagi orang tua untuk mengedukasi anak tentang etika berinternet, privasi, dan keamanan siber. Sehingga mereka dapat menjadi pengguna yang cerdas dan bertanggung jawab. “Dengan demikian, orang tua bisa membantu anak memahami pentingnya menyeimbangkan waktu antara aktivitas di dunia maya dan interaksi sosial di dunia nyata,”imbuhnya.
Sedangkan Rektor Institut Media Digital Emtek (IMDE) Totok Amin Soefijanto menyarankan pemerintah untuk memperkuat kolaborasi dengan tokoh masyarakat khususnya di wilayah pedesaan, “Orang tua harus punya kesadaran untuk menjadi pengawas, dan pemerintah perlu mencari cara sosialisasi yang efektif, de ngan melibatkan orang tua, guru di sekolah, maupun tokoh masyarakat,”ujarnya.
Keterlibatan tokoh masyarakat melalui pendekatan religus dan kultural dinilai penting, karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih membutuhkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai sumber referensi.
“Masyarakat yang kurang literasinya lebih percaya kepada tokoh masyarakat seperti ustadz, pendeta. Juga influencer atau key opinion leader. Nah, mereka-mereka ini perlu digandeng untuk diajak berkolaborasi,”papar Totok.
Kementerian Komdigi, lanjut dia, perlu melakukan sosialisasi regulasi yang lebih efektif dengan pendekatan out of the box. “Ajak pihak-pihak non formal yang bisa didengarkan oleh masyarakat. Karena salah satu kunci keberhasilan melindungi anak dari dari ancaman bahaya di ruang digital adalah literasi digital orang tua,”tutupnya.
Sedangkan Dosen Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) Dr. Muchlis menilai, kematangan dan keluasan berpikir menjadi modal utama anak dalam mengakses ruang digital memerlukan peran guru. “Ada wilayah penggunaan waktu dan etika. Seberapa besar bisa memilah dan memilih yang perlu diakses, supaya tidak terjebak kepada ketergantungan internet,”katanya.
Karenanya, guru berperan sbagai motivator dan supervisor yang dituntut mampu menjelaskan urgensi internet dan dampak negatifnya. “Maka guru berperan penting dalam membantu orang tua dalam mengawasi anak agar mengakses ruang digital lebih bijak,”tegasnya.
Pemberlakuan PP TUNAS bukanlah sekadar regulasi, bukan pula akhir dari sebuah ikhtiar untuk melindungi anak di ruang digital. Lebih dari itu, PP TUNAS merupakan wujud komitmen kolektif bangsa untuk menjaga masa depan, memastikan setiap anak Indonesia tumbuh dalam ruang digital yang aman dan kondusif.
Comments ( 0 )