Jazz Para Senior di deJAZZ Room Deheng House ; Kesetiaan Panjang pada Musik Jazz Indonesia

Jazz Para Senior di deJAZZ Room Deheng House ; Kesetiaan Panjang pada Musik Jazz Indonesia

deJAZZ Room. 
Ruang dengar - tempat ratusan ribu jam menemukan gema yang layak.

 

Oleh: Z-A Zen

Malam itu, jazz tidak dipertunjukkan.
Ia dihadirkan .

Di deJAZZ Room, Deheng House, musik hadir sebagai peristiwa kesadaran. Tidak tergesa, tidak memaksa ruang. Yang terdengar justru sesuatu yang kian langka dalam lanskap musik hari ini: kesediaan untuk mendengar. 

Pelan-pelan, deJAZZ Room menjelma sebagai klub para legenda dari berbagai disiplin ilmu - ruang temu mereka yang matang oleh pengalaman, berkumpul bukan untuk pamer pengetahuan, melainkan untuk memberi ruang. Para penikmatnya datang dengan sikap serupa: duduk, diam, dan membiarkan musik bekerja.

Malam itu sesungguhnya kaya oleh kemungkinan.
Ada tamu yang ikut bermain, bernyanyi, dan berbagi ruang musikal. Jazz, sebagaimana hakikatnya, selalu membuka pintu bagi perjumpaan. Namun di tengah keterbukaan itu, perhatian secara sadar diarahkan pada satu poros: para super senior - mereka yang tidak lagi mengejar momen, karena telah melewati terlalu banyak momen.

Di panggung kecil itu hadir lima nama.
Namun yang sesungguhnya bekerja adalah ratusan ribu jam.
Jam-jam ketika teknik berubah menjadi kebijaksanaan.
Jam-jam ketika ego dilucuti demi keseimbangan.
Jam-jam ketika musik berhenti menjadi ambisi, dan menjelma laku hidup.

Oele Pattiselanno Maestro gitar. Tenang, matang - tahu kapan harus berhenti.

 

Oele Pattiselanno duduk dengan gitarnya seperti seseorang yang sedang membaca kitab tua. Tidak ada nada yang diminta untuk dikagumi. Setiap petikan lahir dari ketekunan panjang - tenang, jernih, dan penuh hormat pada sejarah jazz yang membentuknya. Di tangannya, musik tidak berlari; ia berjalan pelan, yakin, dan matang.

Yance Manusama-Sang Pendekar Bass, Penjaga napas musik - tanpa menyerang, tanpa pamer.

 

Di sisi lain, *Yance Manusama, sang pendekar bass, menjaga napas musik. Tanpa menyerang, tanpa pamer. Bass-nya hadir sebagai fondasi sunyi - menopang, menenangkan, memastikan musik tetap bernapas utuh. Kekuatan yang sesungguhnya, bekerja tanpa suara keras.

Cendy Luntungan Penjaga waktu. Membaca ruang sebelum memukul.

 

Waktu sendiri ditata oleh Cendi Luntungan. Drum tidak diperlakukan sebagai alat gebuk, melainkan sebagai arsitektur ritme. Setiap ketukan terasa ditempatkan, bukan dilempar. Di tangannya, waktu menjadi kebijaksanaan-memberi ruang agar semua dapat berjalan bersama.

Fanny Kuncoro Penjaga bentuk.Tenang, sadar arah, penuh hormat.

Di piano, Fanny Kuncoro bermain dengan sikap yang terasa bahkan sebelum nada berbunyi. Tangannya bekerja dalam kesadaran penuh- bahwa harmoni bukan soal dominasi, melainkan tentang menyatu. Attitude-nya bisa dirasa; tenang, terukur, dan penuh hormat.

Otti Jamalus Vokal sekaligus keyboard.

 

Sementara itu, Otti Jamalus - vokal sekaligus keyboard - melengkapi kekayaan instrumen yang ditempa ratusan ribu jam. Suaranya tidak memimpin, melainkan merangkum. Ia hadir sebagai empati, menjadikan suara sebagai jembatan kesadaran.

Di antara para penikmat malam itu, hadir Todung Mulya Lubis, seorang lawyer kharismatik yang duduk sebagai pendengar. Kehadirannya menegaskan bahwa musik yang matang oleh pengalaman berbicara lintas disiplin ilmu - kepada siapa pun yang terbiasa menghargai proses, keadaban, dan kedalaman berpikir.

Ada penghormatan yang layak disematkan kepada para pendekar musik ini - bukan karena nama besar, melainkan karena keteguhan menjalani waktu. Kepada Oele Pattiselanno, Yance Manusama, Cendi Luntungan, Fanny Kuncoro, dan Otti Jamalus - mereka memperlihatkan bahwa kesetiaan panjang pada musik bukanlah pilihan yang mudah, tetapi pilihan yang membentuk martabat.

Bagi para musisi, kehadiran mereka adalah pengingat bahwa teknik akan menemukan maknanya hanya jika disertai kesabaran dan kemampuan mendengar. Bagi para penikmat, mereka mengajarkan bahwa mendengar adalah tindakan aktif - sebuah laku yang menuntut kerendahan hati. Dan bagi para sastrawan, permainan mereka memperlihatkan bahwa keindahan tidak selalu lahir dari kata-kata, melainkan dari irama batin yang dijaga dengan disiplin panjang.

Yang membuat malam itu istimewa bukanlah virtuositas, melainkan sikap.

Jazz, pada puncaknya, adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Mendengar sebelum masuk. Memahami ruang sebelum berbicara. Menyadari bahwa musik yang paling kuat sering kali adalah yang paling jujur.

Esai ini tidak berusaha mencatat semua yang terjadi malam itu.
Ia memilih untuk memberi hormat.

Karena dalam peradaban musik, tidak semua suara harus ditulis.
Beberapa cukup dijaga - oleh mereka yang telah berjalan terlalu jauh untuk bersuara keras.

Dan semua penghormatan itu akhirnya kembali ke satu ruang: deJAZZ Room. 
Bukan sekadar tempat pertunjukan, melainkan ruang dengar - tempat ratusan ribu jam menemukan gema yang layak. Di sinilah para pendekar musik dan para pendengar yang matang oleh pengalaman bertemu dalam kesetaraan: tanpa hiruk-pikuk, tanpa pameran makna, hanya kesediaan untuk mendengar dan memberi hormat pada waktu.

Jika jazz Indonesia masih memiliki rumah yang menjaga martabatnya, malam itu kita tahu di mana letaknya.
Di deJAZZ Room, musik tidak ditinggikan oleh sorak,
tetapi dimuliakan oleh keheningan.

Visual oleh Dion Momongan 
Bukan sekadar melihat melainkan mendengar dengan kamera.