PP TUNAS, Tembok Generasi Emas Menahan Laju Tombak Kejahatan di Ruang Digital

PP TUNAS, Tembok Generasi Emas Menahan Laju Tombak Kejahatan di Ruang Digital
PP TUNAS, Tembok Generasi Emas Menahan Laju Tombak Kejahatan di Ruang Digital

FOTO : Unair.ac.id

 

 

Teknologi digital menawarkan manfaat besar untuk edukasi dan interaksi antarmanusia. Teknologi tak sekadar sebagai gaya hidup, tetapi sudah menjadi kebutuhan primer.

Kecepatan kemajuan digitalisasi terjadi di seluruh belahan bumi. Hal itu dapat dilihat dari data akses dan penggunaan internet global yang dikumpulkan oleh organisasi internasional seperti UNICEF dan International Telecommunication Union (ITU)

Tercatat, 71% remaja di seluruh dunia (usia 15-24 tahun) terhubung ke internet. Ini menjadikan kelompok usia gersebut menjadi yang paling terhubung secara digital. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat koneksi populasi umum yang hanya 48%.

Di banyak negara, berdasarkan riset Pew Research Center, 2024 hampir semua remaja (96%) melaporkan menggunakan internet setiap hari. Anak-anak mulai menggunakan internet pada usia yang semakin muda. Di Amerika Serikat, meskipun usia minimum yang dipersyaratkan oleh platform media sosial adalah 13 tahun, hampir 40% anak usia 8-12 tahun sudah menggunakan media sosial.

Penggunaan perangkat gawai juga melonjak. Pada 2021, 31% anak berusia delapan tahun di AS memiliki ponsel, meningkat tajam dari 11% pada tahun 2015.

Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik ( BPS) tahun 2024 menunjukkan 9,71% anak usia dini di Indonesia sudah menggunakan ponsel. Pada kelompok usia sekolah dasar (5-12 tahun), sebanyak 12,43% telah mengakses internet. Masih merujuk pada data BPS, 39,71% anak usia dini sudah menggunakan ponsel dan.

Penggunaan ponsel dan internet meningkat seiring bertambahnya usia, dengan 58,25% anak usia 5-6 tahun menggunakan ponsel. Pada kelompok usia 5-12 tahun (anak usia sekolah dasar), 12,43% telah mengakses internet. 35,57% sudah mengakses internet.

Peningkatan akses digital itu selain dipengaruhi oleh kondisi ekonomi nasional yang membaik dalam kurun 10 tahun terakhir, juga akibat infrastruktur teknologi informasi yang mampu melayani masyarakat seluruh negeri. Sayangnya, selama ini percepatan adopsi teknologi dan infrastruktur di Indonesia belum diimbangi dengan perlindungan akses yang memadai.

Hal itu membuat anak-anak rentan tehadap berbagai bahaya kejahatan di ruang digital yang mengancam kapan saja dan dimana saja. Data National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) menyebutkan, 5,5 juta konten pornografi anak terdeteksi selama empat tahun terakhir, menempatkan Indonesia di peringkat keempat tertinggi di dunia dan kedua di Asia Tenggara.

Sebanyak 1,45 juta kasus eksploitasi seksual anak di internet dilaporkan pada tahun 2024 melalui berbagai platform digital dan laporan masyarakat. ChildFund International di Indonesia mengungkap, 24.049 anak diperkirakan terlibat dalam 44 transaksi keuangan mencurigakan terkait eksploitasi seksual anak antara tahun 2014 dan paruh pertama 2024.

Sedangkan UNICEF menyebut, pada tahun 2020, survei menunjukkan bahwa 45% dari 2.777 anak di Indonesia pernah mengalami perundungan siber. Data-data lain yang menunjukkan betapa rentan kejahatan siber mengancam eksistensi anak-anak ditunjukkan oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Antara Januari–Juni 2024, tercatat 7.482 kasus kekerasan terhadap anak. Kekerasan seksual menjadi kategori paling umum, dengan 74% korban perempuan dan 26% korban laki-laki. Tak berhenti sampai disitu, pada Februari 2025, KPAI mencatat 41 kasus anak menjadi korban kekerasan digital, terutama terkait kejahatan seksual dan perundungan.

Kasus eksploitasi seksual anak berbasis online juga dilaporkan terus meningkat. Angka-angka yang dipublikasikan itu kemungkinan hanya sebagian kecil dari keseluruhan kasus yang terjadi. Karena banyak kasus kejahatan digital terhadap anak yang tidak dilaporkan.

Di Indonesia, kemajuan digital memengaruhi kehidupan dan hak-hak anak secara signifikan Sepertiga dari anak-anak dan remaja berada di dunia maya. Lingkungan digital yang dirancang untuk orang dewasa menimbulkan risiko bagi anak-anak. Selama ini, pesatnya adopsi teknologi digital belum diiringi oleh adanya regulasi edukasi yang diperlukan untuk memastikan penggunaannya aman.

Ruang digital dapat secara signifikan memengaruhi keselamatan dan kesehatan mental anak melalui berbagai faktor. Misalnya, seseorang dengan niat jahat dapat memanfaatkan kerentanan anak lewat media sosial dengan menjanjikan hadiah atau kesenangan, yang berujung pada kejahatan seksual.

Potensi paparan konten pornografi, kekerasan, atau informasi radikal yang tidak sesuai usia dapat merusak perkembangan moral dan mental anak. Ini terjadi akibat literasi digital anak yang masih rendah. Anak-anak juga rentan terpapar dan menjadi korban dari aktivitas ilegal seperti judi online.

Selain itu, penggunaan ruang digital yang berlebihan atau tidak tepat dapat berdampak serius pada kesehatan mental anak. Saat ini, anak-anak Indonesia banyak yang mengakses internet sejak usia dini. Seringkali tanpa pendampingan yang memadai, termasuk daria orang tua, sehingga , menjadikan anak-anak sebagai target yang rentan untuk komersialisasi, profiling data dan risiko lain seperti konten berbahaya, eksploitasi, dan penyalahgunaan data pribadi.

Dengan hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS) seolah menjadi Tembok untuk menahan laju Tombak digitalisasi tanpa batas yang kini terjadi di seluruh penjuru bumi.


 

PP TUNAS memberikan dasar hukum yang kuat untuk mewujudkan ruang digital yang aman. Regulasi ini, antara lain, menetapkan batasan usia untuk akses media sosial dan layanan digital, melarang profiling data anak, serta mempertegas sanksi bagi platform yang melanggar. Upaya ini menunjukkan bahwa pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terus mendorong ekosistem digital agar benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik anak.

PP TUNAS yang ditetapkan pada 28 Maret 2025 dan mulai berlaku pada 1 April 2025 itu menjadi dasar hukum kuat bagi negara untuk menghadirkan ruang digital yang aman, sehat, dan berkeadilan.

PP TUNAS merupakan bukti bahwa negara hadir untuk menjamin setiap anak Indonesia dapat tumbuh dalam lingkungan digital yang aman dan sehat. Kebijakan yang tertuang dalam PP TUNAS menjadi wujud komitmen negaara dalam melindungi anak-anak dari berbagai ancaman dan risiko digital, sekaligus memastikan mereka mendapat manfaat terbaik dari perkembangan teknologi

Salah satu bukti hadirnya negara untuk anak-anak, yakni dalam PP TUNAS, Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) diwajibkan untuk melindungi data anak, menyaring konten berbahaya, memverifikasi usia pengguna. PSE yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenai sanksi.

Adanya PP TUNAS juga menjadi global positioning system (GPS) ditengah arus digitalisasi yang masif. Namun demikian, PP TUNAS bukanlah akhir dari ikhtiar untuk melindungi anak-anak di ruang digital, tetapi sebagai tonggak dimulainya perjuangan untuk menjaga kehidupan anak sejak dini.

Tak kalah penting, orang tua dan guru juga harus mendapatkan pelatihan yang relevan agar mampu mendampingi anak secara efektif di dunia maya. PP TUNAS dapat menjadi payung hukum yang mendorong kolaborasi antar lembaga pendidikan, kementerian, organisasi masyarakat sipil, hingga sektor swasta dalam kampanye literasi digital yang massif dan terstruktur.

Tak Sekadar Regulasi Formal

Anak-anak sering kali tidak tahu harus mengadu ke mana saat mengalami kekerasan di ruang digital. Banyak dari mereka memilih diam karena takut, merasa bersalah, atau tidak percaya pada mekanisme yang ada. Karenanya, PP TUNAS perlu menyediakan sistem pelaporan yang ramah anak, mudah diakses, dan melindungi kerahasiaan pelapor.

Selain itu, perlu dibentuk lembaga atau unit khusus yang memantau aktivitas digital yang berdampak pada anak, baik melalui kerja sama dengan penyedia platform, cyber patrol, hingga pelibatan masyarakat. Pengawasan ini bukan dalam konteks membatasi hak anak, melainkan memastikan bahwa mereka tumbuh dalam lingkungan digital yang aman dan mendukung.

PP TUNAS perlu menetapkan sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan daring terhadap anak, baik individu, kelompok, maupun korporasi digital. Kekerasan siber terhadap anak tidak boleh lagi dianggap enteng atau sekadar kesalahan kecil. Sebab, tanpa sanksi, regulasi hanya menjadi dokumen formalitas.

Penyebaran konten yang mengeksploitasi anak, pengambilan data anak tanpa izin, serta penyediaan akses ke konten negatif harus dikenai sanksi administratif, denda, hingga pidana sesuai dengan dampak yang ditimbulkan. Dalam hal ini, kerja sama lintas institusi penegak hukum sangat penting, termasuk Polri, Komidigi, KPAI hingga kementerian lainnya.

Salah satu tantangan perlindungan anak di ruang digital adalah kecepatan perkembangan teknologi. Setiap tahun muncul aplikasi, tren, dan ancaman baru yang belum tentu terjangkau oleh regulasi konvensional. Oleh karena itu, PP TUNAS perlu dilaksanakan dengan fleksibilitas tinggi agar adaptif terhadap perubahan.

Ini bisa dicapai dengan memperkuat peran badan pengawas yang bersifat dinamis dan responsif, membentuk forum konsultasi teknologi dan anak, serta membuka ruang evaluasi regulasi secara berkala. Regulasi yang kaku dan lambat akan kalah oleh kecepatan disrupsi digital.

PP TUNAS juga harus mampu mendorong transformasi budaya digital nasional. Anak-anak adalah cerminan dari lingkungan digital yang mereka tempati. Jika ruang digital diwarnai dengan kekerasan verbal, ujaran kebencian, dan pornografi, maka itu akan terbawa ke perilaku mereka sehari-hari.

Regulasi ini dapat menjadi pintu masuk untuk membangun etika digital kolektif, termasuk mendorong media untuk menyediakan konten ramah anak, mendukung kreator konten positif, dan menumbuhkan solidaritas dalam melawan kekerasan siber.

 

Pencapaian visi Generasi Emas Indonesia pada tahun 2045 yang ditagetkan melahirkan sumber daya manusia unggul yang cerdas dan berdaya saing, salah satunya bergantung pada bagaimana negara dan masyarakat mengelola ruang digital bagi anak-anak. Oleh karena itu, menjaga anak di ruang digital merupakan prasyarat mutlak bagi terwujudnya Generasi Emas.

 

Anak-anak yang menjadi bagian dari Generasi Emas adalah digital natives yang akan memimpin di dunia yang sepenuhnya terhubung. Potensi besar mereka untuk berinovasi dan berkontribusi hanya dapat terwujud jika mereka terlindungi dari bahaya yang dapat menghambat tumbuh kembang.

Upaya untuk memastikan ruang digital menjadi tempat yang aman, sehat, dan bermanfaat membutuhkan kolaborasi aktif antara pemerintah, orang tua, sekolah, dan penyedia platform.

Peningkatan literasi digital anak juga harus diimbangi dengan peningkatan literasi digital orang tua dan guru. Karena rumah dan sekolah adalah dua tempat dimana anak-anak menghabiskan waktu dalam menjalani kehidupannya.

Sosialisasi, sinergi dan kolaborasi harus terus digelorakan dan diperkuat. Sebab, misi besar melindungi anak di ruang digital tak bisa sekadar mengandalkan regulasi, tetapi juga melalui interaksi antarpemangku kepentingan dengan melibatkan pderan aanak secara langsung. Baik melalui diskusi, maupun pendekatan religius maupun kultural.

Sosialisasi, sinergi dan kolaborasi penting untuk memastikan kepada masyarakat bahwa PP TUNAS hadir sebagai instrumen vital untuk merawat Generasi Emas. Bahwa PP TUNAS adalah manifestasi kehadiran negara untuk memastikan bahwa ekosistem digital mendukung, perkembangan anak.

Pengesahan PP TUNAS pada Maret 2025 lalu menjadi langkah penting yang menunjukkan adanya komitmen dan upaya serius pemerintah untuk menciptakan ruang digital yang aman, sehat, dan berkeadilan.

 

Dengan menciptakan ruang digital yang aman dan kondusif, PP TUNAS memberikan landasan bagi anak-anak untuk fokus mengembangkan keterampilan digital, berpikir kritis, dan kreativitas tanpa harus terus-menerus menghadapi ancaman bahaya di ruang digital. Pengembangan ketrampilan digital adalah kunci untuk melahirkan Generasi Emas yang sehat secara mental, cerdas, dan siap bersaing di kancah global. Mdelaljui upaya bersama para stakeholder, yang didukung oleh regulasi yang kuat tersebut, akan memastikan bahwa digitalisasi menjadi akselerator bagi masa depan Indonesia.

Sumber Referensi :

- Unicef.org

- Komdigi.go,id

-kpai.go.id

-unair.ac.id