Prabowo: Pemilu Berbiaya Tinggi, Miskin Kualitas

Prabowo: Pemilu Berbiaya Tinggi, Miskin Kualitas

Olhe: Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute

 

KABARINDO, JAKARTA - Dalam pidatonya pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60 Partai Golkar, Presiden Prabowo Subianto menyoroti tingginya biaya dan kompleksitas pemilu langsung, serta tantangan yang dihadapinya. Dengan menyampaikan gagasan tentang kemungkinan kembali ke sistem pemilihan pemimpin oleh legislator terpilih, Presiden Prabowo menawarkan refleksi mendalam terhadap praktik demokrasi saat ini. Ide ini, meskipun menimbulkan perdebatan, memiliki relevansi yang dapat dianalisis menggunakan filsafat politik dan kesesuaiannya dengan Sila ke-4 Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

 

Pemilu Langsung: Tinggi Biaya, Minim Efisiensi

 

Pemilu langsung, meskipun dianggap sebagai simbol demokrasi modern, telah memunculkan berbagai masalah, termasuk tingginya biaya politik, polarisasi sosial, dan menurunnya kualitas kepemimpinan akibat populisme. Presiden Prabowo menggarisbawahi bahwa sistem ini tidak selalu menjamin hasil yang berkualitas, tetapi justru membuka ruang bagi praktik politik uang, kampanye kosong, dan manipulasi emosi massa.

 

Gagasan untuk mengembalikan pemilihan pemimpin kepada legislator terpilih dapat dilihat sebagai langkah untuk mengatasi beberapa kelemahan ini, dengan harapan menciptakan sistem yang lebih hemat biaya dan berbasis deliberasi.

 

Analisis Positif Melalui Filsafat Politik

 

Gagasan Presiden Prabowo berakar pada konsep demokrasi perwakilan yang dikembangkan oleh filsuf seperti John Locke dan Montesquieu, di mana rakyat menyerahkan mandat kepada legislator untuk membuat keputusan atas nama mereka.

 

Manfaat Demokrasi Perwakilan dalam Pemilihan Pemimpin:

1. Efisiensi Pengambilan Keputusan:

Pemilu melalui legislator dapat mengurangi biaya besar yang selama ini dikeluarkan dalam pemilu langsung, tanpa mengorbankan prinsip representasi rakyat.

2. Penguatan Kualitas Kepemimpinan:

Legislator yang terpilih diharapkan mampu menilai calon pemimpin berdasarkan kompetensi, rekam jejak, dan visi mereka, bukan sekadar popularitas.

3. Pengurangan Polarisasi Sosial:

Pemilu langsung sering kali memecah masyarakat menjadi kubu-kubu ekstrem. Dengan menyerahkan proses kepada legislator, konflik horizontal dapat diminimalisir.

 

Dalam konteks filsafat politik, pendekatan ini mencerminkan pandangan bahwa demokrasi tidak selalu identik dengan pemilu langsung, melainkan dengan proses representasi yang bijaksana.

 

Keselarasan dengan Sila ke-4 Pancasila

 

Sila ke-4 Pancasila menekankan “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” yang secara eksplisit mendorong pengambilan keputusan melalui deliberasi dan representasi. Pemilihan pemimpin oleh legislator terpilih dapat dilihat sebagai upaya untuk kembali kepada semangat asli Pancasila:

1. Permusyawaratan Sebagai Fondasi:

Proses pemilihan melalui legislator mengedepankan musyawarah, bukan sekadar kompetisi angka. Hal ini memungkinkan keputusan yang lebih matang dan bijaksana.

2. Penguatan Prinsip Perwakilan:

Legislator adalah perwakilan rakyat yang telah dipilih melalui mekanisme demokratis. Dengan demikian, aspirasi rakyat tetap terwakili dalam pemilihan pemimpin.

3. Mencegah Politik Uang:

Dalam pemilu langsung, biaya kampanye yang tinggi sering kali membuka ruang untuk korupsi. Pemilihan melalui legislator dapat mengurangi pengaruh uang dalam proses politik.

4. Peningkatan Stabilitas Politik:

Sistem ini dapat mengurangi risiko konflik politik yang sering kali muncul dari pemilu langsung. Legislator yang bekerja dalam ruang deliberasi lebih mampu menjaga stabilitas dan harmoni politik.

 

Tantangan yang Harus Dihadapi

 

Meskipun memiliki banyak potensi manfaat, gagasan ini bukan tanpa tantangan:

1. Kepercayaan Publik terhadap Legislator:

Dalam sistem demokrasi perwakilan, integritas legislator menjadi kunci. Publik harus diyakinkan bahwa legislator dapat menjalankan mandat mereka dengan jujur dan bertanggung jawab.

2. Transparansi Proses:

Pemilihan pemimpin oleh legislator harus berlangsung transparan untuk memastikan bahwa keputusan benar-benar berdasarkan kepentingan rakyat, bukan lobi politik.

3. Perluasan Pendidikan Politik:

Rakyat perlu memahami bahwa sistem ini bukan berarti kehilangan hak, melainkan transformasi cara representasi.

 

Mengapa Ide Ini Layak Dipertimbangkan?

 

Gagasan Presiden Prabowo menawarkan alternatif terhadap sistem pemilu langsung yang sering kali membebani negara secara finansial dan sosial. Dengan kembali kepada prinsip hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sistem ini dapat menciptakan demokrasi yang lebih stabil, hemat biaya, dan fokus pada kualitas kepemimpinan.

 

Namun, implementasi ide ini memerlukan pendekatan hati-hati, dengan memastikan bahwa prosesnya tetap demokratis, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip keadilan sosial. Dalam konteks Indonesia, di mana Pancasila menjadi pedoman utama, gagasan ini selaras dengan semangat deliberasi dan kebersamaan dalam mencari solusi terbaik untuk kemajuan bangsa.

 

Pidato Presiden Prabowo menggarisbawahi masalah mendasar dalam sistem pemilu langsung: tingginya biaya dan rendahnya kualitas hasil. Dengan menawarkan gagasan pemilihan pemimpin oleh legislator terpilih, Presiden membuka ruang diskusi untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem demokrasi Indonesia.

 

Melalui analisis filsafat politik dan nilai-nilai Pancasila, gagasan ini dapat dipandang sebagai langkah positif untuk menciptakan sistem politik yang lebih efisien, representatif, dan sesuai dengan kepribadian bangsa. Jika diterapkan dengan transparansi dan integritas, ide ini berpotensi menjadi inovasi besar dalam demokrasi Indonesia.