Transtoto Handadhari: Pemulihan Ekosistem Memerlukan Banyak Ahli Hutan dan Lingkungan di Parlemen
KABARINDO, JAKARTA - Indonesia yang memiliki daratan 185 juta hektare awalnya memiliki kawasan hutan negara 143 juta hektare, serta lautan sekitar 220 juta hektare membutuhkan ahli hutan dan ekosistem lingkungannya yang cukup banyak di parleman.
Bahkan boleh dikatakan pada dasarnya semua anggota parlemen seharusnya paham fungsi hutan dan ekosistemnya yang vital bagi kehidupan umat.
Ahli hutan dan lingkungan daratan paling tidak diperlukan sejumlah 10--15 persen, dan yang memahami ekosistem lautan 5 persen dari anggota.
Namun keilmuan tersebut pada praktiknya wajib ditularkan untuk dipahami oleh para anggota parlemen sampai tingkat terendah di Kabupaten. Tanpa sekat partainya. Karena pemahaman fungsi hutan dan ekosistem tersebut objektif universal.
"Dalam praktiknya justru di tingkat paling bawah dan lapangan penyimpangan UU banyak dilakukan. Konon peraturan dasar banyak yang "bengkok" di daerah-daerah karena pemahamannya kurang dan pengawasan tidak intensif", kata pakar hutan dan ekosistem Dr. Ir. Transtoto Handadhari, M.Sc yang mantan Kepala Pusat Informasi Kehutanan Dephut 2004-2005 itu.
"Apalagi kalau ahli hutan dan lingkungan itu sangat minim, atau tidak ada di parlemen pusat. Sedangkan "pembengkokan" aturan dasar tersebut bisa dilakukan dengan sengaja di daerah-daerah yang sulit diawasi. Ditambah lagi banyak yang bermain "pat-gulipat" dengan yang pihak yang berwenang, hancurlah peradaban bangsa ini", lanjut rimbawan KAGAMA yang juga Dirut Perum Perhutani 2005-2008, yang di usia senjanya (73) tetap bersemangat memelopori rimbawan agar mau berpolitik membela hutan.
"Hambatan untuk berpolitik praktis saat ini adalah rasa phobia di masyarakat terhadap anggota DPR dan biaya yang besar untuk menjadi anggota parlemen", keluhnya.
"Akibatnya banyak kebijakan pengelolaan ekosistem di pusat yang juga salah atau harus diperbaiki. Akibatnya implementasinya di lapangan juga dilakukan tanpa bisa disalahkan. Dalam praktiknya banyak koreksi yang dibuat untuk kepentingan pihak tertentu. Koreksi di lapangan meskipun sah ditandatangani yang berwenang tetapi ujungnya tetap merusak hutan dan ekosistemnya".
Transtoto berulangkali menyampaikan bahwa salah satu yang menjadi biang masalah ekisistem adalah aturan tata ruang yang sudah kedaluarsa. Tetapi terus dipertahankan karena menyangkut dana perubahan tata ruang dan tata guna kawasan hutan yang mahal.
"Banyak kasus besar yang terus dipertahankan keberadaannya karena alasan tidak adanya dana", lanjutnya.
Karenanya dalam suasana "abu-abu" serta longgarnya koordinasi dan lemahnya penegakan hukum, parlemen yang tidak memiliki ahli hutan dan ekosistem menyebabkan tatalaksana pemerintahan tidak berjalan dengan baik dan aman bencana. Katanya sambil mengisyaratkan munculnya kecurangan yang seringkali terjadi di lapangan.
"Kebijakan pembangunan ekonomi yang banyak bersentuhan dengan sumber daya hutan harus dikoordinasikan dengan baik. Parlemen dan Pemerintah harus memprioritaskan keduanya secara serasi dengan memanfaatkan tehnologi dan kearifan lokal. Meski tujuan kesejahteraan bangsa diutamakan, tapi juga selalu mengedepankan perilaku konservasif di setiap sisi pembangunan", tegas Transtoto yang juga tercatat sebagai caleg DPR-RI dari Partai Perindo di DAPIL Jateng 3 "Kerajaan hutan" Blora Raya.
"Dalam pengelolaan hutan dan ekosistem lingkungan, fungsi DPR-RI terkait pengaturan, pembiayaan dan pengawasan hendaknya dimanfaatkan untuk pemuliaan hutan, mengembalikan fungsi lindung hutan terutama di Jawa termasuk mengembangkan konsep kebun-hutan, reforestasi, rehabilitasi lahan, pengembalian kualitas hutan, pendayagunaan masyarakat dalam pengelolaan hutan, mengembangkan keragaman-hayati yang bernilai dan melestarikan pembudidayaan plasma nutfah", tutup Transtoto memaparkan harapannya.
Comments ( 0 )