Satu Bangunan, Dua Agama

Satu Bangunan, Dua Agama
Satu Bangunan, Dua Agama

Oleh: M Subhan SD

Co-Founder Palmerah Syndicate

Hebron, Senin sore, 20 Januari 2020. Di bawah gerimis di musim dingin, saya menaiki tangga di sisi belakang Masjid Ibrahim yang terletak di kota lama. Tak kurang ada 25 anak tangga. Tampak luar, masjid ini lebih mirip benteng, dengan dua menara menjulang di dua sudutnya. Masjid ini dipercaya lokasi makam Nabi Ibrahim dan keluarganya. Mulanya adalah ladang, dengan gua-gua di bawah tanahnya. Ibrahim membeli ladang itu untuk lokasi pemakaman dari Efron bin Zohar, orang Bani Het (Al-Haits) seharga 400 syikal/sekel perak (Kej. 23: 15). Peristiwa itu diperkirakan 4.000 tahun silam. 


Orang Arab menyebut Hebron dengan nama Al-Khalil, bermakna “kekasih” atau “sahabat”. Sebutan itu dilekatkan pada Ibrahim, yang berjuluk Khalilullah (kekasih Allah) atau Khalil ar-Rahman (kekasih Sang Mahapengasih). Ribuan tahun lokasi yang dibeli Ibrahim itu hanya berupa lahan kosong. Kemudian struktur bangunan dibuat oleh Raja Herodes (74-1 SM), “raja boneka” Romawi. 


Herodes memang suka membuat proyek mercusuar. Misal, benteng Masada di dekat Laut Mati, kota pelabuhan Caeseria Maritima, merenovasi Bait Suci di Yerusalem. Di lahan lokasi makam itu pun Herodes membangun dinding dari batu-batu. Tebal dinding sekitar 1,8 meter, panjang 60 meter, lebar 30 meter, dan tinggi 12 meter, tetapi tanpa atap. Walaupun tanpa struktur tulang besi, dinding batu itu sangat kuat dan mampu bertahan lebih dari 2.000 tahun.


Atap sebagai penutup dilengkapi ketika kaum Muslim menguasai Palestina tahun 638 di zaman Khalifah Umar bin Khattab. Jadilah masjid yang lengkap: struktur bangunan dengan atap penutup. Sekitar tahun 1100 tentara Salib dipimpin Godfrey of Bouillon merebut masjid dan mengubahnya menjadi Kastil St. Abraham. Pada tahun 1188, pasukan Muslim di bawah komando Sultan Salahuddin Al-Ayyubi merebut kembali. Bangunan kembali difungsikan sebagai masjid. Kemudian di sudut-sudutnya dibangun menara bergaya Mamluk setinggi 15 meter. Sekarang ini hanya tersisa dua menara. 


Setelah melewati koridor, di areal tengah bangunan masjid, beberapa meter di belakang mihrab, ada dua bangunan kecil bercungkup, yang disebut cenotaph. Cenotaph , di kamus Merriam-Webster , artinya monumen yang dibangun untuk menghormati seseorang/sekelompok orang yang jasadnya berada di tempat lain. Dari bahasa Yunani, cenotaph berarti “makam kosong” ( kenos berarti kosong, taphos bermakna makam). Ya, penanda semacam maqam (jejak atau place of standing ).

Di sisi kanan tertulis cenotaph Nabi Ishaq, putra kedua Ibrahim. Di sebelah kiri cenotaph Ribkah/Rebecca, istri Ishaq. Cenotaph Ishaq dan Ribkah dapat diakses langsung karena berada di tengah-tengah masjid. Adapun cenotaph Nabi Ibrahim berada di ruangan lain. Tak bisa diakses langsung. Hanya dapat dilihat dari jendela berteralis besi.

Maqam Ibrahim yang ditutupi kain hijau terlihat cukup besar. Postur tubuh Ibrahim, seperti digambarkan dalam hadits, memang tinggi. “Malam tadi saya bermimpi ada dua orang yang datang, lalu saya temui. Seorang tinggi, hampir-hampir tidak dapat saya lihat kepalanya karena tingginya. Orang itu ialah Nabi Ibrahim” (HR. Bukhari).

Di ruangan terpisah juga terdapat maqam Sarah, istri Ibrahim. Letaknya persis setelah pintu masuk masjid. Ada lagi maqam Nabi Ya’kub, tapi di ruangan lain, sehingga tak bisa dilihat. Ini karena Masjid Ibrahim adalah satu bangunan yang memiliki dua fungsi rumah ibadah: Islam dan Yahudi. Karena Ibrahim merupakan “bapak semua agama samawi”, pun menjadi rebutan, termasuk Masjid Ibrahim.

Bagian depan merupakan areal masjid, dan bagian belakang merupakan sinagoge. Pembagian itu terjadi setelah tragedi berdarah pada subuh tanggal 4 Februari 1994. Seorang Yahudi radikal Amerika-Israel, Baruch Goldstein menembaki umat Islam yang tengah salat subuh di masjid itu. Korbannya 29 Muslim Palestina meninggal dan 125 orang lagi terluka. Goldstein pun diamuk massa sampai tewas.  


Setelah pembagian, masing-masing punya otoritas sendiri. Orang Muslim tidak boleh masuk ke area sinagoge, sebaliknya Yahudi tidak boleh ke area masjid. Kecuali pada hari-hari besar masing-masing agama, semua ruangan terbuka untuk umat yang merayakannya. Demikian pada awalnya. Untuk Islam, ada perayaan Isra Mikraj, Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, Tahun Baru Hijriyah, dan lain-lain.

Untuk Yahudi ada Eilul, Rosh Chasanah, Yom Kippur, Succot, dan lain-lain. Nah, di area sinagoge itulah maqam Nabi Ya’kub  berada. Begitu juga maqam istrinya, Laya (Leah). Ya’kub adalah sosok di mana bangsa Israel dapat ditelusuri muasalnya. Ya’kub yang menurunkan 12 suku Bani Israil. Israil adalah nickname Nabi Ya’kub. Hanya orang Yahudi yang dapat mengunjungi maqam Ya’kub dan istrinya. 


Namun, semakin ke sini komunitas Yahudi makin berulah. Kaum Muslim makin terdesak. Sewaktu masuk ke masjid saja sudah diperiksa dengan akses pintu ber- metal detector. Kecuali bagian dalam masjid, seluruh areal termasuk halaman masjid dikontrol oleh pasukan Israel. Informasi terakhir makin memprihatinkan.

Beberapa hari lalu, Quds Press melaporkan otoritas pendudukan Israel memberi tahu pengelola Masjid Ibrahim di Hebron bahwa pengelolaan masjid kini telah dialihkan dari Kementerian Wakaf Otoritas Palestina ke Otoritas Perencanaan Sipil Israel (www.middleeastmonitor.com, 27 Februari 2025). Alarm kencang telah berbunyi mengancam kebebasan dan kenyamanan Muslim untuk  beribadah di Masjid Ibrahim. 


Memang, Hebron adalah kota terbelah. Kota sejuk di ketinggian di atas 900 mdpl itu justru "bersuhu pas", diliputi ketegangan. Ketika mengunjungi Hebron, lima tahun lalu, jalanan terlihat lengang. Di beberapa ruas jalan ada pos-pos penjagaan pasukan Israel, barikade kawat, dan pemeriksaan. Suasananya agak mencekam, seperti saya lukiskan dalam buku Negeri Para Nabi: Perjalanan Spiritual (2021). Sejak diduduki Israel pasca Perang Enam Hari tahun 1967, pengusiran terhadap orang Palestina di Hebron terus berlangsung hingga hari ini.  


Rebutan Masjid Ibrahim pun bukan lagi motif berlomba-lomba menjalankan syariat agama, melainkan bermotif politis: rebutan kekuasaan, merebut dominasi. Ini soal hegemonisme Zionis. Padahal, Nabi Ibrahim mewariskan sifat-sifat hakiki manusia yaitu kasih sayang. Nama Ibrahim terdiri dua suku kata:  ib/ab berarti “ayah/bapak” dan rahim berarti “penyayang”, berarti Ibrahim adalah “ayah penyayang” (O Hashem, Muhammad Sang Nabi, 2006). Ironisnya, keturunannya tak mampu menjaga warisan “sifat penyayang” sang leluhur. Lebih senang cakar-cakaran. Inilah fakta kontradiktif dan ahistoris.