Purnomo Yusgiantoro Center Apresiasi Kebijakan Swasembada Energi Pemerintah Menuju Kemandirian Nasional
KABARINDO, JAKARTA - Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) sebagai organisasi nirlaba di bidang energi, mengapresiasi kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan swasembada energi sebagai salah satu prioritas untuk mewujudkan kemandirian nasional.
PYC menilai, saat ini ketahanan energi Indonesia masih dihadapkan pada tantangan cukup berat, yang diindikasikan dengan adanya kebijakan impor energi, kurang optimalnya layanan gas bumi, disparitas harga, dan intensitas energi. “Keempat indikator ini berada di posisi kurang tahan dalam indeks ketahanan energi yang dikeluarkan oleh Dewan Energi Nasional (DEN) tahun 2023”, kata Akhmad Hanan, peneliti PYC dalam acara Press Briefing di Gedung PYC, Jakarta, Kamis (31/.
Hanan mengatakan bahwa dalam upaya menghadapi berbagai tantangan meningkatkan ketahanan energi sembari memaksimalkan transisi energi, para pemangku kepentingan diharapkan mendukung kebijakan pemerintah di sektor energi.
Pada kurun waktu 2023-2024 PYC telah melakukan riset bertema reformasi di sektor energi dan menghasilkan beberapa rekomendasi untuk pemerintah. Antara lain, mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian khusus kepada birokrasi yang cenderung rumit dalam sektor kelembagaan energi. Selain itu, terdapat tumpang tindih kewenangan dan regulasi di antara berbagai lembaga serta kurangnya koordinasi yang efektif antar instansi terkait, salah satunya antara pemerintah pusat dan daerah yang memperlambat proses pengambilan keputusan.
Sementara itu, Ketua Umum PYC, Filda C. Yusgiantoro, Ph.D., menambahkan, “Perlu adanya mandatori monitoring, evaluasi, dan pembelajaran untuk kebijakan energi yang sudah ada atau pun yang akan di keluarkan,” kata Filda.
Menurutnya, sudah saatnya pemerintah mereformasi sektor energi dengan mendorong konsistensi kebijakan energi yang berfokus pada keberlanjutan jangka panjang dan tidak terpengaruh oleh dinamika politik. “Koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait harus diperkuat untuk mencegah tumpang tindih kebijakan. Posisi DEN harus lebih diperkuat,” kata Filda.
Hal senada juga disampaikan Koordinator Peneliti PYC, Massita Ayu Cindy. Menurutnya, selain penguatan DEN, diperlukan keterlibatan Pemerintah Daerah (Pemda) melalui pembentukan dinas energi atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) di level kota dan kabupaten, sesuai Perpres No 11/2023.
Ayu mengatakan, khusus untuk energi fosil, PYC menilai kebijakan hilirisasi seperti coal gasification dan integrasi kilang migas dengan industri petrokimia menjadi penting untuk memaksimalkan sumber daya alam Indonesia, namun perlu didukung standar lingkungan yang ketat serta insentif untuk penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).
PYC, lanjut Ayu, juga mendorong reformasi energi di sektor ketenagalistrikan terutama menyangkut tidak adanya regulator di sektor ketenagalistrikan. Karena itu PYC berharap pemerintah bisa segera membentuk regulator listrik independen untuk memastikan transparansi tarif, mengawasi kinerja, dan mendukung transisi energi berkelanjutan.
“Siapa pun regulator yang ditunjuk harus memiliki independensi kuat dari pengaruh politik dan bisnis, serta harus memiliki kewenangan yang cukup untuk mendorong efisiensi dan investasi di sektor energi,” katanya Ayu.
Di sisi lain, PYC mendukung penggunaan gas bumi sebagai energi perantara khususnya untuk hard to abate industries, sambil memastikan peningkatan bertahap Energi Baru Terbarukan (EBT) terutama Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) untuk menggantikan energi fosil sebagai baseload.
PYC juga mendorong desentralisasi ketenagalistrikan untuk wilayah terdepan, tertinggal, dan terluar, dengan melibatkan komunitas termasuk wanita dan masyarakat rentan. Sekaligus mendukung pengembangan SDM dan daya saing teknologi Indonesia di pasar global dengan memperkuat riset energi terbarukan khususnya pada bidang tematik dimana Indonesia memiliki keunggulan lebih dibandingkan dengan negara lain seperti pada teknologi panas bumi, bioenergi, dan CCS/CCUS.
Reformasi Kebijakan Subsidi Energi
Pada 2024, PYC mengadakan survey kepada lebih dari 1.000 responden dari berbagai kalangan masyarakat, dan menemukan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia melihat program subsidi energi—BBM, LPG, dan listrik—yang selama ini dijalankan pemerintah belum tepat sasaran sehingga pemerintah perlu melakukan perubahan atau reformasi terhadap kebijakan subsidi ini. Selain itu, ternyata sebagian besar responden juga tidak paham implikasi subsidi energi terhadap perekonomian.
“PYC merekomendasikan perlunya penerapan subsidi langsung, tepat sasaran dan tepat guna kepada masyarakat rentan. Pemerintah juga perlu menerapkan mekanisme penetapan harga energi yang berbasis pasar, termasuk penerapan tarif regional & progresif berdasarkan volume konsumsi energi untuk mendorong efisiensi serta mengintegrasikan harga energi dengan biaya eksternalitas,” jelas Ayu.
Ayu menambahkan, kebijakan reformasi subsidi energi harus dibarengi dengan digitalisasi penyaluran agar subsidi tepat sasaran dan tepat guna. Kemudian reformasi ini harus didukung oleh verifikasi data kependudukan yang akurat serta penyesuaian harga energi secara bertahap disertai kompensasi bagi kelompok rentan untuk memitigasi dampak negatif.
PYC melihat saat ini pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa target komitmennya untuk menuju kemandirian energi nasional seperti, peningkatan bauran EBT, efisiensi energi, dedieselisasi, penyederhanaan perizinan dan regulasi pro-investasi, kebijakan subsidi langsung, dan lain sebagainya. “Kita tentu berharap Pemerintah akan menjalankan komitmen-komitmen tersebut,” tutur Hanan. Foto: Ist
Comments ( 0 )