Mulai dari Nol, Pak!

Mulai dari Nol, Pak!

Oleh: M. Subhan SD

Co-Founder Palmerah Syndicate

   

Untuk persiapan silaturahim ke luar kota pada hari Raya Idul Fitri, kemarin saya mengisi bensin di SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) atau pom bensin. "Mulai dari nol (0) ya pak," kata operator SPBU sembari menekan tombol angka-angka di mesin dispenser pompa. Saya mengangguk saja. Sambil menanti tangki kendaraan terisi, saya sempat memikirkan tentang angka 0 itu.

Memang sudah template operator SPBU mengucapkan kalimat itu setiap memulai melakukan pengisian BBM ke kendaraan. Namun, kemarin serasa ada rasa yang beda. Oh, rupanya hari ini hari terakhir puasa Ramadan di tahun 2025. Semalam, sidang isbat di Kementerian Agama memutuskan Idul Fitri 1 Syawal 1446 Hijriyah atau Lebaran tahun ini jatuh pada hari Senin, 31 Maret 2025.
   

Artinya besok Ramadan sudah pergi meninggalkan kita. Setiap waktu menjelang kepergian Ramadan ada rasa sedih yang menggelayut. Sebab, Ramadan adalah bulan penuh berkah, ketika Tuhan melipatgandakan pahala atas amal perbuatan manusia. Ramadan telah membersihkan karat dan daki yang ada di dalam diri kita.

Rasa sedih juga bukan hanya akan ditinggalkan Ramadan, tetapi belum tentu dapat bertemu Ramadhan kembali di tahun depan. Itulah yang membuat kerinduan akan Ramadan tak tertahankan, walaupun ia belum-belum meninggalkan kita pada hari terakhir ini. Malam nanti sudah berkumandang takbir, menyambut datangnya Idul Fitri. Artinya kita kembali ke fitrah suci, ke angka 0 (nol). 
   

Puasa adalah terjemahan dari kata shiyam dan shaum (bahasa Arab). Maknanya sama yaitu “menahan”. Dalam Al-Quran, kata shiyam disebut sebanyak 9 (sembilan) kali. Terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 183 (satu kali), ayat 187 (dua kali), ayat 196 (dua kali); surat An-Nisa’ ayat 92 (satu kali); surat Al-Ma’idah ayat 89 (satu kali) dan ayat 95 (satu kali); serta surat Al-Mujadalah ayat 4 (satu kali). Sedangkan kata shaum disebut hanya 1 (satu) kali, yaitu dalam surat Maryam ayat 26. 
   

Meskipun artinya sama, tetapi kedua kata itu berbeda secara semantik. Kata shiyam dimaknai “menahan dari makan, minum, dan berhubungan suami istri”. Makna ini yang merujuk pada puasa Ramadan. Adapun kata shaum dimaknai sebagai “menahan dari berbicara”. Ini puasa khusus yang dilakukan perempuan mulia Maryam setelah melahirkan Nabi Isa. “Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini’ (QS. Maryam: 26).
   

Diksi shiyam yang disebut 9 kali, jika diperhatikan, Ramadan adalah bulan ke-9 dalam kalender tahun Hijriyah. Jika 9 shiyam  dan 1 shaum dijumlahkan didapatkan angka 10. Bulan Syawal adalah bulan ke-10. Narasi begini sudah biasa di kalangan mereka yang coba memahami matematika puasa. Angka 10 adalah angka tertinggi (sempurna) dalam sistem penilaian.

Artinya, pada bulan Syawal, bulan ke-10 itu, saat Idul Fitri tiba, setelah melakukan puasa sebulan, manusia beriman berada di level paling sempurna, yaitu titik ketakwaan. “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah: 183). 
   

Kembali bersih setelah dilakukan penyucian selama berpuasa. Semua daki dosa dikuras dan digelontorkan. Makanya, kita mengenal Idul Fitri, hari kemenangan. Yaitu ketika berhasil melewati puasa yang merupakan latihan spiritual yang berat sehingga kembali pada fitrahnya. Ibarat lembaran kertas putih yang tanpa catatan atau coretan lagi. Maka saat itu kita saling memaafkan, tiada lagi prasangka, kebencian, permusuhan, dan semua nafsu busuk yang bersemayam di dalam lubuk hati terdalam.
   

Kalau dikaitkan dalam sistem desimal, dikenal angka tunggal atau digit, yaitu 0-9. Ini sebetulnya adalah siklus. Setelah angka 9 lalu kembali ke 0. Perhatikan saja v irtual keyboard di smartphone yang umumnya menggunakan tata letak Qwerty. Pada baris teratas tertera angka-angka yang berurutan dari terendah ke tertinggi yaitu 1-9, kemudian baru 0.

Bisa dimaknai setelah berada titik tertinggi di bulan Ramadan (bulan ke-9) maka kembali ke fitrah (angka 0). Barangkali akan terpikir bahwa angka-angka itu kebetulan saja atau diotak-atik gathuk, tetapi percayalah bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan skenario-Nya.
   

Mari kita lanjutan biar terkesan argumentatif. Puasa mempunyai kedudukan berbeda dibanding ibadah ritual lainnya. Semua ibadah langsung diberi penilaian atau ganjaran oleh Allah. Tetapi, puasa tidak seperti itu. “Hendaklah kalian berpuasa, karena tidak ada yang menyamainya” (HR. An-Nasai).

Puasa tidak langsung mendapat ganjaran. Puasa adalah ibadah khusus, eksklusif. Sebab, puasa adalah milik Allah. Dalam hadis Qudsi, disebutkan “Semua amal perbuatan anak Adam itu adalah untuknya, melainkan berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasan dengannya.” 
   

Karena beda itulah maka puasa punya skor nilai yang tinggi pula. Jika setiap amalan kebaikan akan dilipatgandakan 10 kebaikan hingga 700 kali lipat, maka puasa tanpa batas. Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani, hanya ibadah puasa yang terbebas dari sifat riya’, karena rahasia yang diketahui hanya oleh orang berpuasa dan Allah.

Puasa juga mungkin ibadah yang tidak bisa dipamer-pamerkan. Kan tidak mungkin orang mau pamer rasa lapar? Saking tingginya nilai puasa, bayangkan saja bau mulut orang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Bukhari 1904, 5927 dan Muslim 1151). 
   

Bulan Ramadan juga bulan diturunkannya Al-Quran, pertama kali ketika Nabi Muhammad ber-tahannuts di Gua Hira. Bagi umat Islam, Al-Quran adalah petunjuk (huda), pembeda antara yang benar dan yang batil (furqon), selain sebagai nasihat (mau’izah), kabar gembira (busyra), dan obat (syifa). Dengan Al-Quran, manusia tidak lagi kehilangan arah karena cahayanya telah menerangi bumi dan langit.
     

Di bulan Ramadan juga ada satu malam yang paling istimewa. Tiada tandingannya. Yakni lailatu qadar. “Malam kemuliaan itu lebih baik dari pada seribu bulan (QS. Al-Qadr: 3). Artinya. Kalau kita mendapatkan lailatul qadar, ketika itikaf atau qiyamul lail, nilai satu malam itu bahkan melebihi 1.000 bulan. Jika 1.000 bulan dikonversi ke tahun didapatkan angka sekitar 83 tahun dan 4 bulan.

Jadi, ibadah semalam lailatul qadar setara dengan usia hidup manusia selama 83 tahunan itu. Kebaikan semalam sama saja dengan kebaikan sepanjang hayat 83 tahunan itu. Padahal usia harapan hidup orang Indonesia sekitar 72 tahun (2024). Artinya, lailatur qadar di malam Ramadan itu itu benar-benar bonus super luar biasa. 
     

Memang, pada bulan Ramadan Allah membuka semua pintu kebaikan. Betapa rugi jika kita tidak berlomba-lomba untuk menggapainya. Bukan hanya dibukakan loh. Allah juga menyingkirkan semua kendala dan penghalang yang dapat mengganggu niat dan kekhusyukan beribadah dan mencari kebaikan.

Ketika “Ramadan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu" (HR. Bukhari dan Muslim). Betapa tenangnya  berhubungan dengan Allah tanpa ada yang menggoda atau membisiki kenikmatan duniawi. Bukankah Allah itu Maha Baik? 
   

Dengan begitu, kita punya kans, peluang, kesempatan, dan momentum untuk mencapai pencapaian tertinggi di bulan Ramadan (angka 9). Inilah yang harus kita jaga, baik perkataan, perilaku, tindakan. Semua anggota tubuh kita yang berpeluang menyeleweng terbawa nafsu mesti dapat dikontrol: 2 tangan, 2 kaki, 2 telinga, 2 mata, dan 1 mulut.

Jika dijumlahkan angkanya menjadi 9. Jika mampu mendapatkan angka 9 insyaallah kita akan suci kembali (idul fitri), kembali pada posisi 0. Jika selama puasa kita dapat menahan tangan, kaki, telinga, mata, mulut dari perbuatan buruk; menjadi pijakan penting untuk terus menjaganya pasca puasa.


Tahu-tahu di telinga kanan terdengar suara operator SPBU yang selesai mengisi bensin ke tangki kendaraan, “Pas ya!”. Alhamdulillah, pas waktunya, hari ini penghujung Ramadan. Insyaallah kita berdoa besok dapat berada dalam barisan golongan mereka yang kembali ke fitrah.

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1446 Hijriyah. Taqabbalallaahu minnaa wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanaallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidin wal faaiziin wal maqbuulin kullu ‘ammin wa antum bi khair, semoga Allah menerima (amal ibadah Ramadan) kami dan kamu. Wahai Allah Yang Maha Mulia, terimalah!

Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang serta diterima (amal ibadah). Setiap tahun semoga kamu senantiasa dalam kebaikan. Dengan kerendahan hati, dengan keterbatasan akal, dan kekurangan ilmu, saya mohon dibukakan pintu maaf lahir dan batin!