Mengulik Fakta di Balik MPASI Fortifikasi, Apakah Berbahaya untuk Bayi?
Mengulik Fakta di Balik MPASI Fortifikasi, Apakah Berbahaya untuk Bayi?
Produk MPASI fortifikasi menggunakan standar keamanan yang ketat
Surabaya, Kabarindo- Dalam berbagai forum, banyak ibu di Indonesia yang mempertanyakan apakah MPASI fortifikasi aman untuk bayi. Pertanyaan ini timbul karena makanan pendamping ASI (MPASI) fortifikasi termasuk makanan pabrikan dan ada persepsi bahwa makanan pabrikan tidak baik untuk bayi.
Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc. pakar teknologi pangan yang juga anggota tim pakar Direktorat Standardisasi Pangan Olahan BPOM, mengatakan ia ingin memberikan informasi yang lengkap mengenai isu tersebut guna mengurangi kebingungan dan rasa khawatir para ibu agar lebih percaya diri ketika mengambil pilihan yang terbaik bagi bayi mereka.
“Karena itulah, saya mengajak dr. Ardi yang juga influencer tumbuh kembang anak untuk membeberkan fakta seputar MPASI fortifikasi dan bagaimana ibu bisa memastikan kelengkapan gizi bayi ketika memasuki masa transisi ke MPASI, setelah mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama,” ujar salah satu orang yang bertanggung jawab atas standarisasi pangan olahan di Indonesia ini.
Menurut Prof. Sugiyono, sebelum membahas tentang MPASI fortifikasi, sebaiknya kita memahami dulu apa itu makanan pabrikan dan bagaimana pembuatannya. Ia memaparkan, makanan pabrikan adalah hasil pengolahan makanan di pabrik yang mencakup pemasakan (biasanya perebusan atau pengukusan) dan pengeringan. Pemasakan yang umum dilakukan di rumah atau dalam industri, bertujuan memastikan makanan matang, aman dan mudah dicerna, misalnya daging yang tidak boleh dimakan secara mentah.
“Apalagi jika makanan tersebut diperuntukkan bayi yang masih rentan mengalami gangguan kesehatan. Makanan untuk bayi harus diproses atau dimasak, misalnya direbus atau dikukus lalu dilunakkan agar sesuai dan aman dikonsumsi bayi serta memberikan nutrisi yang diperlukan, agar bayi dapat tumbuh dan berkembang optimal,” paparnya pada Selasa (26/9/2023).
Setelah proses pemasakan, dalam pembuatan makanan pabrikan, dilakukan proses pengeringan. Tujuannya mengeluarkan air dari makanan, sehingga menjadi tahan lama atau awet disimpan tanpa mengalami kerusakan atau pembusukan dan kandungan nutrisinya dapat dipertahankan. Tak hanya dalam bidang industri, proses pengeringan makanan juga umum dilakukan masyarakat dalam keseharian agar makanan menjadi awet. Sebagai contoh, roti tawar dikeringkan menjadi roti kering, ataupun daging dikeringkan menjadi dendeng. Jadi makanan pabrikan itu cepat penyajiannya, karena sudah dimasak sebelumnya, dan awet karena telah dikeringkan. Dengan demikian, makanan pabrikan tidak perlu mengandung bahan pengawet, karena bentuknya sudah kering sehingga awet dengan sendirinya.
“Asumsi bahwa makanan pabrikan itu pasti mengandung pengawet tambahan tidak selalu benar. Dalam bidang industri, salah satu makanan yang melalui proses pengeringan agar lebih awet adalah makanan bayi yang dikeringkan menjadi MPASI fortifikasi,” ujar Prof. Sugiyono.
Yang sering hilang di konteks perbincangan mengenai makanan pabrikan adalah tujuannya yang positif, yaitu untuk memberikan kesetaraan akses terhadap gizi di Indonesia. Pembuatan makanan pabrikan yang awet tentu memungkinkan distribusi makanan sampai ke daerah-daerah terpencil dan jauh. Hal ini sangat menguntungkan di negeri kepulauan seperti Indonesia, di mana pengiriman makanan memerlukan waktu relatif lama. Dengan adanya makanan pabrikan yang awet, masyarakat di daerah terpencil tetap bisa mendapatkan akses makanan yang berkualitas.
Prof. Sugiyono juga ingin meluruskan pendapat negatif lain mengenai pemrosesan yang “menghilangkan gizi” pada MPASI fortifikasi. Tidak dipungkiri bahwa proses pengolahan, termasuk saat kita mengolahnya di rumah seperti memasak, dapat merusak sebagian vitamin pada makanan. Pada makanan fortifikasi, sebagian zat gizi yang rusak atau hilang karena proses pengolahan, dapat diatasi dengan menambahkan vitamin dan mineral pada makanan yang telah diolah. Hal inilah yang membedakan fortifikasi dengan makanan yang diolah di rumah. Proses penambahan vitamin dan mineral ini justru bisa memberi tambahan nutrisi yang sulit dipenuhi tiap harinya, misalnya zat besi dan zat gizi mikro lainnya untuk memenuhi kebutuhan bayi.
Kesalahpahaman mengenai MPASI fortifikasi berawal dari persepsi negatif yang muncul terhadap makanan yang masuk kategori ultra processed food (UPF) dalam sistem klasifikasi makanan bernama NOVA. Klasifikasi NOVA sendiri dicetuskan oleh peneliti dari Brazil pada 2009 yang menggolongkan makanan dalam 4 kategori berdasarkan tingkat pengolahannya. Empat kategori tersebut adalah unprocessed dan minimally processed foods (seperti pangan segar), processed culinary ingredients (bahan pangan yang meliputi minyak atau lemak, gula dan garam), processed foods (buah atau ikan di kaleng) dan UPF (makanan cemilan, biskuit, minuman susu, sereal sarapan, makanan instan).
Klasifikasi NOVA sama sekali tidak memperhitungkan kandungan nutrisi makanan dan hanya mengkategorikan makanan berdasarkan tingkat pengolahannya. Karena itu, dalam beberapa tahun terakhir ini, semakin banyak pakar yang mengkritik penggunaan klasifikasi NOVA untuk menilai kandungan nutrisi makanan, karena tingkat pengolahan makanan tidak menentukan kandungan nutrisi makanan yang dihasilkan. Kandungan nutrisi makanan lebih banyak ditentukan komposisi bahan yang digunakan untuk membuat makanan tersebut.
Contohnya, proses pemanggangan biskuit dapat menghasilkan produk dengan kandungan nutrisi sesuai untuk bayi, tetapi juga bisa menghasilkan biskuit yang tidak cocok untuk bayi, bergantung pada bahan yang digunakan. Maka tidak tepat jika mengatakan bahwa makanan pabrikan adalah makanan yang tidak baik bagi bayi karena termasuk UPF. Yang tepat dalam menilai sebuah produk MPASI fortifikasi baik atau tidak bagi bayi adalah dengan melihat komposisi nutrisi makanan pabrikan tersebut.
Selain kesalahpahaman yang disebabkan sistem kategorisasi NOVA, menurut Prof. Sugiyono, ada pula kesalah-pahaman yang dipicu oleh klaim studi efek negatif UPF. Mungkin ibu-ibu pernah mendengar informasi bahwa MPASI fortifikasi tidak aman berdasarkan studi mengenai efek negatif UPF.
“Yang perlu diluruskan adalah sebenarnya belum ada satupun studi yang menggunakan produk MPASI fortifikasi sebagai sumber makanan yang diteliti. Hal ini menjadikan kesimpulan studi efek negatif UPF tersebut tidak relevan jika kita bicara mengenai MPASI fortifikasi,” ujar Prof. Sugiyono.
Ia menambahkan, penting diketahui ibu bahwa MPASI fortifikasi dikontrol sangat ketat oleh BPOM, nulai dari bahan baku, proses produksi, kandungan zat gizi serta keamanannya. Untuk produk MPASI fortifikasi, BPOM menerapkan standar yang sangat ketat mengingat pentingnya keamanan makanan bayi dan nilai gizinya. BPOM tidak mengizinkan MPASI fortifikasi mengandung pengawet, pewarna atau perisa serta tidak boleh memiliki kandungan gula dan garam yang tinggi.
Prof. Sugiyono menjelaskan, MPASI fortifikasi yang telah diizinkan beredar di Indonesia oleh BPOM berarti juga telah lolos tahap pengontrolan kualitas sesuai kriteria Codex Alimentarius, lembaga independen yang membuat standar makanan berbasis sains yang ditetapkan secara kolektif oleh berbagai negara untuk melindungi kesehatan konsumen yang dibentuk oleh FAO/WHO.
“Saya berharap penjelasan ini dapat berkontribusi dalam meningkatkan literasi gizi para ibu, sehingga bisa memilih yang terbaik bagi bayi mereka tanpa rasa khawatir. Saya percaya, jika ibu memiliki literasi gizi yang lebih baik, tahu bagaimana mencari kebenaran informasi, maka tidak mudah bingung dengan banyaknya informasi dari sosial media atau lingkungan sekitar yang meresahkan dan belum tentu kebenarannya,” ujarnya.
Comments ( 0 )