Kolintang Aset Peradaban Dunia dari Minahasa - Nusantara

Kolintang Aset Peradaban Dunia dari Minahasa - Nusantara
Kolintang Aset Peradaban Dunia dari Minahasa - Nusantara

Oleh: ZA Zen – Pemerhati Seni dan Budaya

 

Seperti tanah Minahasa sendiri, ia tak minta dilihat, tapi pantas ditatap.

Malam Pesona Kawanua 2025 telah memberikan panggung bagi Kolintang bukan hanya sebagai pengiring, tetapi sebagai tokoh utama yang berbicara dalam nada nada luhur penuh harga diri. Malam itu, suara kayunya menyentuh seperti bisikan leluhur dari hutan hutan tua Sulawesi Utara, melantun bukan sekadar hiburan, tetapi pengingat bahwa kita memiliki harta besar yang belum cukup dirayakan.

Tak ada yang perlu diragukan: Kolintang adalah salah satu instrumen paling luhur yang pernah lahir dari bumi Indonesia. Ia bukan hanya alat musik; ia adalah suara peradaban. Suara yang lahir dari akar, dirawat oleh tradisi, dan kini siap berdialog dengan masa depan dunia. Suara yang tak hanya mampu mengiringi tarian rakyat, tetapi juga memiliki potensi untuk mengalun dalam simfoni global, berdampingan dengan orkestra besar, dan dengan penjiwaan yang tepat mengiringi syair syair spiritual, puisi kemanusiaan, bahkan lagu cinta universal.

Kolintang menyimpan dinamika yang luar biasa kaya. Ia bisa lembut dan halus seperti desir angin laut di pesisir Likupang, bisa tegas dan agung seperti kokohnya gunung Lokon, dan bisa hangat seperti senyum para tetua Minahasa yang menyambut tamu dengan kejujuran dan keteduhan. Jika kita menaruh Kolintang di tangan seorang pelantun bersuara emas seorang penyanyi dengan pemahaman rasa dan akar maka dunia akan menyadari: inilah instrumen yang telah menunggu terlalu lama untuk didengar dengan saksama.

Bayangkan bait bait syair menyentuh tentang cinta yang luhur, kerinduan pada tanah leluhur, atau doa-doa untuk dunia yang lebih damai diiringi Kolintang. Nada kayunya tak membayangi, tetapi mendukung; tak mendikte, tetapi memeluk. Kolintang memiliki kualitas spiritual yang jarang dimiliki alat musik lain. Getarnya bukan sekadar bunyi, melainkan gema dari nilai-nilai kultural yang diwariskan turun temurun: keseimbangan, keramahan, ketekunan, dan kejujuran. Di balik setiap bilah kayu, tersimpan kesadaran ekologis, filosofi hidup bersama alam, dan penghormatan pada harmoni.

Jika gamelan Bali telah lama dikagumi dunia, dan shamisen Jepang menghipnotis dalam minimalismenya, maka Kolintang tak kalah megah. Bahkan, dengan pendekatan musikal kontemporer dan orkestrasi modern, Kolintang berpotensi menjadi jembatan musikal antara Timur dan Barat, antara tradisi dan inovasi, antara lokal dan global. Ia dapat menjadi tulang punggung dari genre musik baru yang lahir dari Indonesia: musik peradaban tropis, tempat syair syair dan lagu lagu kita menemukan rumahnya yang paling jujur dan mendalam.

Malam Pesona Kawanua telah memberi ruang bagi Kolintang untuk bicara. Tapi ini baru permulaan. Yang lebih penting adalah keberanian kita - sebagai bangsa untuk tidak lagi memposisikan Kolintang sebagai ornamen folklor, melainkan sebagai instrumen utama dalam narasi besar peradaban Indonesia ke dunia. Inilah harta karun yang selama ini tersembunyi di rumah sendiri, menanti untuk disandingkan di panggung dunia, bukan sebagai tamu, tapi sebagai tuan rumah musikal yang memesona dan menggugah.

Dalam dunia yang semakin kehilangan suara jujur dari akar budayanya, Kolintang hadir sebagai suara jernih dari masa lalu yang menuntun kita menuju masa depan. Suara kayunya yang bersih, manusiawi, dan hangat-mengandung keberanian untuk berkata: Inilah Indonesia. Inilah Minahasa. Inilah suara peradaban yang tak akan pernah padam.

Sejatinya, Malam Pesona Kawanua bukan tentang seberapa megah panggungnya. Ia tentang bagaimana akar diaspora bertemu dalam rasa. Tentang bagaimana mereka yang tersebar di Jakarta, Jayapura, Tokyo, Amsterdam, New York, dan Manado, masih memiliki satu titik temu: cinta pada tanah asal.

Dan cinta itulah yang membentuk malam yang tak biasa di Ballroom Djakarta Theatre. Di balik tata lampu dan denting nada, ada lebih dari 100 insan terlibat. Di balik panggung, berdiri Ermy Kullit dengan kharisma tak tergantikan sang penyanyi legendaris berdarah Kawanua yang kali ini memimpin sebagai direktur artistik. Ia tidak sendiri. Lexi M. Budiman, pendiri deHills Production, menjadi kekuatan gagasan yang menggerakkan Malam Pesona Kawanua 2025 sebagai peristiwa budaya lintas generasi. Hendra Sinadia, serta Romi dengan semangat sosial dan spiritualitasnya, memastikan acara ini bukan hanya sebuah perayaan, tapi juga aksi nyata: sebagian hasil disumbangkan untuk para seniman Kawanua yang sedang dalam kesulitan kesehatan.

Tampil bersinar dalam kolaborasi: Tony Wenas sosok eksekutif berkelas tinggi yang malam itu menunjukkan bahwa musik tetap mengalir dalam darahnya. Connie Constantia, Once Mekel, Maryantje Mantouw, Vivi Sumanti, Vonny Sumlang, Vina Panduwinata, dan tentu saja Ermy Kullit sendiri menyatukan generasi dalam nyanyian. Penyanyi lintas zaman, lintas genre, satu akar. Sonny Tulung bersama Merry Sanger memandu malam dengan jenaka dan elegan. Virly Virginia dan Mercy Fransiska, dua wajah bersinar dari generasi baru Kawanua, serta beberapa wanita lainnya turut mempercantik atmosfer. Bahkan Mongol Stres, sang komedian penuh warna, hadir sebagai pengingat bahwa seni Kawanua tak pernah kehilangan humor dan kejujuran.

Panggung tak hanya milik mereka yang bersuara. Ia juga dipenuhi oleh 30 penari Maengket, tarian Kabasaran yang gagah, musik bambu yang menenangkan, dan empat kelompok Kolintang yang memperlihatkan kedalaman bunyi dan kekayaan etnik. Semua ini diiringi musisi senior Nyong Anggoman simbol kontinuitas musikal yang mengikat zaman.

Malam itu bukan hanya malam pertunjukan, tapi malam pertanggungjawaban budaya. Didukung Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Kementerian Kebudayaan RI, serta sponsor besar seperti Pertamina dan BNI, acara ini menunjukkan bahwa kebudayaan adalah modal strategis bangsa. Bahwa seni bukan ornamen, melainkan kekuatan lunak yang bisa menginspirasi generasi, mempersatukan akar, dan membuka masa depan.

Bagi yang hadir, Malam Pesona Kawanua adalah sebuah pengalaman. Bagi sejarah, ia sebuah pernyataan. Bahwa Kawanua memiliki sejuta bintang dan intelektual yang mengharumkan nama, bukan hanya bagi kampung halaman, tetapi juga untuk Indonesia tercinta