Jangan Duduk Di Kursi Orang (Issengi Alemu-1)

Jangan Duduk Di Kursi Orang (Issengi Alemu-1)
Jangan Duduk Di Kursi Orang (Issengi Alemu-1)

 

Oleh Hasyim Arsal Alhabsi

Direktur Dehills Institute

 

Satu ketika saya diajak ayah saya untuk mengunjungi kantor kakak ipar (suami dari kakak perempuan saya) di bilangan Gudang Peluru Jakarta Timur. 

Tiba di gedung mewah kantor tersebut kami disambut oleh satpam yang sangat ramah dan langsung diantar ke salah satu ruangan yang cukup besar dan terasa sangat adem karena ber "air conditioner". Di ruangan itu ada sofa dan beberapa kursi tamu sebagaimana ruangan tamu di rumah2, dan di salah satu sudutnya ada meja kerja dan seperangkat komputer pribadi yang canggih untuk ukuran dewasa itu. 

Kakak ipar saya berdiri dan langsung menyambut kami dengan wajah gembira, mempersilahkan kami duduk di kursi tamu yang tersedia di salah satu sudut yang lain dari ruangan yang kurang lebih berukuran 5 X 5 meter itu.  

Setelah berpelukan dan meyampaikan segala kata bernuansa rindu dan kebahagiaan.

Mata saya tak pernah lepas dari komputer yang terletak di sudut meja kerja kakak ipar saya, maklum, sebagai mahasiswa tahun pertama komunikasi, komputer selalu menjadi perhatian khusus. Hal ini ternyata tak lepas dari pandangan kakak ipar saya. Ia pun berkata: 

"Cim, duduklah di situ (maksudnya di kursi kerjanya, kursi kulit dengan sandaran tinggi, kursi direktur), itu komputer keluaran terbaru, mungkin kamu mau coba?"

Tanpa basa-basi saya langsung menuju ke meja kerjanya, dan duduk di kursi yang betul-betul lembut dan empuk, jujur saya belum pernah merasakan kursi senikmat itu.

Tapi ternyata, kenikmatan itu hanya beberapa menit. Karena tiba-tiba ayah saya, Arsal Alhabsi, berdiri dan berkata kepada kakak ipar: 

"oh ya Uti, kami harus pergi ada tempat lain yang harus Aba datangi." Dan beliau bergerak menuju ke pintu dan tanpa menengok kepada saya, ia pun berkata.

"Cim, ayo kita berangkat."

Saya dan kakak ipar saya tak sempat lagi berkata-kata. Keputusan pergi itu sepertinya di luar dugaan kami. Apalagi saya yang tahu beliau tidak punya rencana lain.

Sebagaimana saya sudah rasa2, Aba dengan suara dalam berkata: "Satu yang sangat bodoh dan tak pantas kau lakukan tadi. Menduduki kursi orang, siapa pun dia, dizinkan, disuruh apalagi tidak. Tidak pantas. Tidak etis. 

Nak hanya orang bodoh dan kalah yang ingin menduduki kursi orang."

"Duduklah dikursimu ketika engkau memilikinya. Dan hargai pemilik kursi itu dengan tidak mendudukinya dengan alasan apapun."