Jakarta, Sebuah Malam Biola dan Makna
Oleh: ZA Zen
Pelaku Seni, Penikmat Kebudayaan
Pertunjukan yang semula dijadwalkan tepat waktu itu harus ditunda satu jam. Jakarta, seperti memiliki irama sendiri, menahan arus kendaraan sejak sore hingga jalan-jalan utama nyaris membeku. Namun justru penundaan itu memberi jeda: seolah kota ingin menguji kesabaran para pencinta seni sebelum mereka dihadiahi sebuah malam penuh getar keindahan.
Sesaat setelah hadirin menempati kursi-kursinya, Permata Quartet tampil sebagai pengantar. Kehadirannya seperti sekilas prolog, sebuah sapaan musikal yang halus, membukakan pintu suasana untuk sesuatu yang lebih besar.
Dan benar, setelah itu, sorotan tertuju pada Iskandar Widjaja. Biola yang ia peluk segera melahirkan nada pembuka "Padamu Negeri", memanggil semua hadirin berdiri, menyanyikan bersama. Suara nasionalisme yang berpadu dengan gesekan biola Iskandar menjelma pengalaman kolektif yang menggetarkan: musik tidak hanya terdengar, melainkan terasa merasuk hingga urat nadi.
Namun malam itu Iskandar tidak hanya berbicara lewat dawai. Ia pun menghadirkan kejutan: vokalnya. Dengan penuh penghayatan, ia menyanyikan lagu dalam empat bahasa, Jerman, Prancis, Inggris, dan Indonesia, menegaskan betapa lintas budaya bisa dijahit menjadi harmoni.
Di antara hadirin, tampak wajah-wajah dari berbagai dunia: musik, film, mode, diplomasi, politik, kedokteran, hingga bisnis. Mereka seakan menyatu dalam satu ruang apresiasi, membiarkan diri ditarik oleh energi musikal seorang virtuoso yang lahir di Jerman, namun membawa darah Indonesia.
Iskandar Widjaja (lahir 6 Juni 1986) memang memiliki riwayat yang memikat. Cucu dari Udin Widjaja, musisi besar era Presiden Soekarno, Iskandar mewarisi darah seni sekaligus kosmopolitanisme. Ibunya, Chin Widjaja, berdarah Tionghoa Medan; ayahnya, Ivan Al-Hadar, berakar Belanda-Arab-Maluku. Perjumpaan latar itu membentuk dirinya menjadi seniman dunia. Sejak usia tiga tahun ia sudah bersentuhan dengan piano, setelah sebuah konser anak di Jerman membangunkan gairah musikal yang tak pernah padam.
Dan kini, di hadapan publik Jakarta, semua itu terjalin kembali. Biola yang ia mainkan tak hanya mengumandangkan karya, tetapi juga menegaskan identitas: bahwa menjadi Indonesia di ruang dunia adalah sebuah kebanggaan.
Pertunjukan ini sendiri berlangsung di DE’CONCERT ROOM – DEHENG HOUSE, sebuah tambahan baru dalam lanskap ruang pertunjukan Jakarta. Sejak awal, sang pemilik gedung telah menekankan pentingnya menghadirkan sistem tata suara yang sempurna. Dalam percakapan bisik kepada penulis, ia menegaskan: “Sound system itu bagian mutlak. Kalau tanggung, berarti kita tidak menghormati musisi. Sekalipun mahal, sound berkualitas adalah bentuk apresiasi penuh yang wajib kita hadirkan.” Pandangan sederhana namun visioner ini menjadikan DE’CONCERT bukan sekadar ruang, melainkan pernyataan tentang bagaimana seni patut disambut.
Pada akhirnya, malam itu bukan sekadar konser. Ia adalah pertemuan antara kota yang riuh, musisi yang mendunia, dan ruang yang menempatkan seni sebagai sesuatu yang layak dihormati.
Dan di sela decak kagum para hadirin, terbit pula sebuah harapan: semoga kelak lahir “Iskandar-Iskandar baru” yang kian menggemakan kekayaan bangsa Indonesia di ruang-ruang publik internasional.
Comments ( 0 )