Iskandar Widjaja dan Harmoni yang Memulangkan Jiwa

Iskandar Widjaja dan Harmoni yang Memulangkan Jiwa

Joy in Harmony Indonesia; Tour di Deheng House Jakarta

“Dalam setiap nada yang dimainkan malam itu,
Indonesia tidak sekadar terdengar - ia terasa.”

Oleh Z-A Zen

Ada malam-malam yang sekadar indah, dan ada malam-malam yang menandai perubahan dalam cara kita memandang seni. Konser Iskandar Widjaja “Joy in Harmony Indonesia Tour” di Deheng House Jakarta termasuk yang kedua. Sebuah malam yang menghidupkan kembali makna keindahan sebagai nilai moral, spiritual, dan kebangsaan.

Iskandar hadir bukan semata sebagai virtuoso biola yang telah menaklukkan panggung dunia, tetapi sebagai diplomat budaya, menjembatani musik klasik Barat dengan jiwa Indonesia yang hangat, lembut, dan berkarakter.Ia datang tidak untuk mempertontonkan kehebatan, melainkan untuk menghadirkan rasa: bahwa harmoni adalah bahasa universal kemanusiaan.

Musik yang Menyentuh

Di deCONCERT Room, ruang pertunjukan berkelas dan intim yang dirancang dengan apresiasi tinggi terhadap para musisi tanah air, Iskandar tampil bersama The Elphier String Quartet, para musisi dari NDR Elbphilharmonie Orchestra, Hamburg – Jerman. Konser juga menghadirkan kolaborasi istimewa bersama Dwiki Dharmawan, Stephanie Onggowinoto, Dirly Dave, dan Maxime Bouttier.

Yang terjadi malam itu bukan sekadar konser, melainkan pertemuan dua peradaban musikal: disiplin klasik Eropa yang presisi berpadu dengan kelembutan rasa Timur yang puitis dan spiritual. Iskandar tidak tampil sebagai bintang dunia yang berjarak, melainkan sebagai jembatan antara dua jiwa Barat dan Timur, dalam bahasa paling lembut: keindahan.

Denting biolanya yang bening seolah membuka pintu batin bersama, menciptakan hubungan emosional yang langka antara panggung dan penonton. Para hadirin budayawan, seniman, dan tokoh masyarakat larut dalam kesadaran musikal yang nyaris religius. Tampak di antara mereka Eros Jarod, Ghea Panggabean dan Baringin M.H. Panggabean, serta Mulfachri Harahap, yang tidak sekadar menonton, melainkan ikut hadir di dalam kesadaran musik itu sendiri.

"Sepasang Mata Bola" : Titik Haru di Panggung

Salah satu momen paling menggetarkan malam itu adalah ketika Iskandar mempersembahkan karya klasik Indonesia, "Sepasang Mata Bola" ciptaan Ismail Marzuki, bersama Dwiki Dharmawan dan Virly.

Dwiki memainkan piano dengan harmoni jazzy yang elegan, Virly melantunkannya dengan penghayatan penuh doa, sementara Iskandar, lewat biolanya, menghidupkan kembali roh sejarah bangsa dengan nuansa universal.

Di tangan mereka bertiga, lagu perjuangan itu menjelma menjadi renungan spiritual tentang cinta tanah air. Ketika nada terakhir menggema, seluruh ruangan terdiam.
Tidak ada tepuk tangan seketika, hanya keheningan panjang, karena semua orang sedang merasakan sesuatu yang lebih besar daripada bunyi: makna.

Deheng House: Ruang yang Menghormati Musik

Malam itu, Deheng House menunjukkan dirinya bukan hanya sebagai tempat pertunjukan, tetapi sebagai rumah bagi musik yang hidup dari kebudayaan.
Segala hal dari pencahayaan, tata akustik, hingga tata ruang dirancang dengan kesadaran estetika.

Dan di tengah keindahan itu, penulis duduk berdampingan dengan Lexi M. Budiman, sang pendiri dan penjamu berjiwa budaya yang memandang panggung dengan tenang dan penuh pengertian.

Kami menyaksikan bagaimana musik, di ruang yang ia bangun dengan cinta dan visi, menjadi bahasa yang mempersatukan manusia, bukan sekadar pertunjukan, melainkan pengalaman spiritual kolektif.

Lexi tidak banyak bicara, tetapi seluruh atmosfer Deheng House berbicara tentang dirinya:
tentang gagasan bahwa musik harus dimuliakan, bahwa para seniman perlu ruang yang menghargai kejujuran dan kebeningan jiwa mereka.

deJAZZ Room dan Diplomasi Kebudayaan

Usai konser, Iskandar dan para musisi dari Jerman turun ke lantai tiga, memasuki deJAZZ Room ruang istimewa yang dirancang untuk menyatukan seniman dalam suasana akrab dan reflektif.

Penulis kembali duduk berdampingan dengan sang tuan rumah, menyaksikan bagaimana malam berubah menjadi peristiwa diplomasi kultural yang lembut dan memikat.

Para musisi Eropa yang biasa hidup dalam disiplin konser formal larut dalam tawa dan kebersamaan bersama musisi-musisi Indonesia.

Tampak hadir Once Mekel, musisi besar sekaligus anggota DPR RI Komisi X, yang membidangi pendidikan, kebudayaan, pariwisata, ekonomi kreatif, olahraga, dan perpustakaan. Kehadirannya menegaskan bahwa kebijakan dan kebudayaan dapat berpadu dalam satu ruang harmoni.

Bersama pembawa acara Ade Andrini, dan improvisasi hangat Dwiki Dharmawan, serta para musisi dan vokalis lainnya, malam itu berubah menjadi jamuan rasa, tempat musik turun dari panggung menjadi percakapan antarjiwa.

Para musisi Jerman tampak bahagia, bukan karena kemewahan, tetapi karena mereka merasakan kecerdasan emosional khas Indonesia: hangat, beradab, dan memuliakan manusia.

Epilog: Harmoni yang Memulangkan Jiwa

Konser Joy in Harmony Indonesia Tour di Deheng House bukan sekadar peristiwa artistik, melainkan refleksi peradaban. Iskandar Widjaja dan kolaboratornya membuktikan bahwa repertoar yang luhur adalah yang menggugah kesadaran, dan penjamuan yang sejati adalah yang memuliakan manusia.

Dari deCONCERT Room hingga deJAZZ Room, malam itu mengajarkan bahwa musik tidak berhenti di panggung, tetapi hidup di hati yang saling mendengarkan.

Dan di tengah semua itu, Iskandar Widjaja, Dwiki Dharmawan, Virly, Once Mekel, bersama para sponsor dan mitra yang hebat,
telah membuktikan bahwa keindahan dapat menjadi jalan menuju kebijaksanaan, dan kebijaksanaan bila dihidupi dengan rasa akan selalu memulangkan manusia kepada jiwanya yang paling sejati: jiwa Indonesia.

Catatan Redaksi

Tulisan ini merupakan refleksi kultural atas konser Joy in Harmony Indonesia Tour di Deheng House Jakarta,
diselenggarakan dengan dukungan DEHENG HOUSE, Dynasty Palace Restaurant, Kofi&Ti, deHills Radio, BookCabin, Jakarta Konser, HighEnd, dan Titan Center.