Iskandar Widjaja, Biola Berlin di DECONCERT Room Jakarta
Oleh: ZA Zen
Pelaku Seni, Penikmat Budaya
Jakarta pada Jumat (12/9) malam itu seperti hendak menguji kesabaran. Sejak sore, kemacetan menahan arus kendaraan, membuat jalan-jalan utama nyaris membeku. Pertunjukan yang mestinya dimulai pukul 20.00 terpaksa ditunda satu jam.
Beberapa tamu kehormatan mengalami pengalaman tak lazim. Camelia Malik dan Yessy Gusman yang terjebak macet berucap, “Aku sudah dekat tapi tidak bergerak oleh macet. Jika aku sampai terlambat aku tidak mau masuk, tidak enak mengganggu suasana khusus pertunjukan.” Ucapan itu adalah potret etika seni yang luhur, betapa pentingnya menghormati repertoar dengan tidak membiarkan kehadiran pribadi mengusik kesakralan pementasan.
Penundaan waktu akhirnya memungkinkan keduanya tiba sebelum Iskandar Widjaja tampil dan duduk anggun di kursinya.
Tak jauh berbeda, Hendra Sinadia, tokoh berpengaruh di organisasi pertambangan sekaligus salah satu pendiri DeHills Musik Club, memilih berjalan kaki dari Blok M menuju gedung Deheng House di bilangan Kemang. Supirnya baru tiba tiga jam kemudian di area parkir pertunjukan. Di balik kejanggalannya, peristiwa ini justru menyingkap makna etika yang sama: bahwa seni menuntut kesungguhan, bahkan pengorbanan, agar dapat dialami secara penuh.
Sementara sebagian tamu masih terjebak di luar, di dalam ruang konser kursi-kursi mulai terisi. Candra Darusman, komponis dan pianis ternama, hadir bersama sang istri, disusul Dwiki Dharmawan dan Ita Purnamasari yang akrab menyapa sahabat-sahabat seni. Kartika Soekarno, putri Proklamator, menghadirkan simbol kesinambungan sejarah bangsa dengan dunia budaya.
Nampak pula Gea Sukasa dengan ketenangan khasnya, serta penyanyi Cita Citata yang larut dalam suasana. Deretan tokoh ini bukan sekadar daftar nama, melainkan mosaik: musisi, seniman, budayawan, juga profesional dari lintas bidang. Mereka hadir bukan hanya untuk menonton, melainkan untuk memberi kesaksian bahwa malam itu Jakarta menjadi pusat sebuah peristiwa musikal yang layak dikenang.
Pertunjukan dibuka oleh Permata Quartet sebagai prolog musikal, sapaan halus yang menyiapkan ruang batin bagi sesuatu yang lebih besar. Sesudahnya sorotan jatuh pada Iskandar Widjaja. Gesekan biola yang ia peluk segera mengalun dengan Padamu Negeri, mengajak hadirin berdiri, menyanyikan bersama. Nasionalisme malam itu tidak tampil dalam retorika, melainkan dalam getaran kolektif yang merasuk hingga urat nadi.
Repertoar berikutnya menyingkap perjalanan musikal yang kaya warna. Variations on a Theme by Corelli karya Kreisler meneguhkan jejak klasik yang disiplin namun hangat. Merry Go Round of Life ciptaan Joe Hisaishi menghidupkan dunia Hayao Miyazaki yang puitis, seakan melayang di antara realitas dan mimpi. A Million Dreams dari The Greatest Showman membuka cakrawala imajinasi, sebuah undangan untuk percaya pada kemungkinan. Melati dari Jayagiri menghadirkan aroma tanah air, sederhana namun sarat nostalgia. Sepasang Mata Bola karya Ismail Marzuki menjahit keindahan lirik dengan keabadian melodi.
Iskandar lalu menyanyikan Kiss The Rain karya Yiruma, bukan hanya dengan biola tetapi juga vokalnya, menegaskan bahwa musik adalah bahasa jiwa tanpa sekat medium. Perfect karya Ed Sheeran dan Love Yourself ciptaan Justin Bieber serta Ed Sheeran melintasi batas genre pop dengan interpretasi yang lembut namun berwibawa. Ode to Joy dari Beethoven dalam gubahan Widjaja sendiri menjelma deklarasi tentang kemanusiaan universal. Dan akhirnya He’s A Pirate dari Pirates of The Caribbean menutup dengan energi penuh vitalitas, meninggalkan ruang dengan sorak dan senyum kagum.
Satu hal yang patut diapresiasi dari De Concert Room adalah perhatian serius pada tata suara. Sejak awal, sang pemilik gedung menegaskan bahwa kualitas sound system adalah bentuk penghormatan kepada musisi. “Kalau tanggung berarti kita tidak menghormati musisi. Sekalipun mahal, sound berkualitas adalah apresiasi penuh yang wajib dihadirkan,” demikian ia menekankan. Pandangan sederhana namun visioner ini membuat ruang pertunjukan tersebut bukan sekadar fasilitas, melainkan pernyataan etis tentang bagaimana seni patut disambut.
Namun sebuah catatan lain juga patut dikemukakan. Fasilitas big screen yang tersedia di De Concert Room nyaris tak dimanfaatkan sepenuhnya. Padahal layar semacam itu mestinya dihidupi oleh penampilan, menjadi medium yang memvisualkan makna repertoar, memperluas jangkauan imajinasi penonton. Inilah bagian dari etika menggauli repertoar, yakni kesungguhan memanfaatkan setiap unsur yang tersedia untuk memperkaya pengalaman estetis, bukan membiarkannya menjadi sekadar atribut teknis ruang.
Malam itu akhirnya bukan sekadar konser. Ia adalah perjalanan musikal dari nasionalisme ke kosmopolitanisme, dari cinta tanah air hingga harmoni universal. Dan di sela decak kagum para hadirin, tumbuh sebuah harapan: semoga lahir Iskandar-Iskandar baru yang akan terus menggemakan kebanggaan bangsa di panggung dunia.
Comments ( 0 )