Festival Film Indonesia 2021; Siap Kembali Ke Khittah
Sudirman, Kemendikbud Ged. E, Jakarta, Kabarindo- Apa jadinya saat wartawan senior perfilman yang menyebut diri Tim7 dari DemiFilm Indonesia seperti Wina Armada Sukardi, Ipik Tanoyo, Benny Benke, Sandi Gasela, Amazon Dalimunthe, Yan Widjaya dan AruL berkeluh kesah sekaligus mengusulkan program-program anyar sambut Bulan Film Nasional, Maret mendatang.
Ahmad Mahendra Direktur Perfilman Musik Dan Media Baru (PMMB), Kemendikbud RI menjanjikan akan kembali melibatkan wartawan dalam penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) 2021 ini.
Menimbang wartawan adalah inisiator pertama, sekaligus penggerak utama FFI edisi perdana di tahun 1955, dan gelaran FFI selanjutnya.
Saat Usmar Ismail, yang saat itu bekerja sebagai jurnalis Star News mengagas gelaran film bergengsi tersebut.
“Insya Allah, kalau saya masih di sini, saya akan menempatkan wartawan di tempat yang layak,” katanya di kantor PMMB lantai 8, Kemendikbud RI, Selasa (23/2/2021).
Mahendra sekaligus meminta maaf kepada wartawan, jika selama penyelenggaraan FFI selama ini, dinilai tidak menempatkan wartawan di tempat sepatutnya.
“Untuk kasus FFI kemarin memang sangat dibatasi penontonnya, sesuai kesepakatan dengan Pemda DKI Jakarta. Saya sendiri dan pak Dirjen Kebudayaan tidak boleh masuk arena. Hanya nominator dan pengisi acara. Kita bahkan mau dibubarin, karena terlalu banyak kerumunan oleh Tim Satgas Covid-19,” kata Mahendra.
Dia melanjutkan, Tim Satgas Covid-19 bahkan sempat mengancam jika kerumunam lebih dari 250 orang, akan dibubarkan. “Kita deg degan. Setelah kita nego boleh 300 orang, baru jalan. Padahal, pengisi dan nominator sudah 290 orang. Makanya wartawan tidak boleh masuk. Karena, kalau masuk, lebih dari 300 orang, ” katanya lebih lanjut.
Meski demikian, sekali lagi, Mahendra tetap meminta maaf kepada wartawan, “Tapi ke depan, wartawan akan lebih kami manusiakan,” katanya yang akan bersegera membuat laporan kepada Dirjen Kebudayaan RI, untuk kembali melibatkan wartawan dalam setiap gelaran FFI.
“Saya akan lapor ke Pak Dirjen, dan Insya Allah kita tidak ada masalah, melibatkan wartawan dalam penyelenggaraan FFI. Karena FFI muasalnya toh dari wartawan, jadi tidak ada pretensi dikembalikan ke wartawan,” katanya.
Ahmad Mahendra Direktur Perfilman Musik Dan Media Baru (PMMB) dan sejumlah wartawan film di kantornya.
Sebelumnya, wartawan senior Yan Widjaya mengatakan, pada tahun 1955 saat FFI pertama digelar, digagas dan dikerjakan oleh wartawan. Yaitu Usmar Ismail, yang saat itu menjadi pewarta di majalah Stars News. Demikian pula pada penyelenggaraan selanjutnya, FFI selalu dikerjakan wartawan secara aktif.
Sayangnya, menurut Yan Widjaya warsa belakangan, wartawan seperti sengaja ditinggalkan sebagai bagian aktif kegiatan FFI.
“Tahun 2021, tepat 100 tahun Usmar Ismail. Alangkah baiknya merayakan 100 tahunnya, yang meninggal di usia 49 tahun. Dengan hanya menyutradarai 25 film. Wartawan kembali menjadi bagian aktif gelaran FFI mendatang,” kata Yan Widjaya.
Meski Yan sangat menyadari,
berkenaan dengan hajatan tahunan FFI, BPI telah ditunjuk pemerintah dalam hal ini Kemendikbud RI sebagai penyelenggara FFI. Meski demikian, di masa Kemala Atmojo ketua BPI, dia masih melibatkan keterlibatan wartawan.
“Tapi di masa kepengurusan Leni Lolang dan Lukman Sardi, wartawan tidak dilibatkan sama sekali. Yang aneh belakangan ini, wartawan bahkan sangat disepelekan. Bahkan dalam FFI terakhir ini, wartawan dikandangin, tidak boleh masuk ke venue acara. Kami diminta datang sejak jam 14.00, padahal acara mulai pukul 20.00. Ini ngawur. Lebih baik saya nonton dari rumah,” kata Yan Widjaya.
Wartawan, imbuh Yan, sebagai mitra sangat disepelekan. Bahkan wartawan tidak ada yang dilibatkan sebagai juri.
Hal ini sangat menimbulkan rasa tidak puas. Yan juga mempertanyakan, apakah dewan juri FFI menonton semua film yang ada di daftar film kompetisi, yang jumlahnya 80 an judul.
“Saya tidak yakin. Tapi saya sebagai wartawan, nonton semua. Makanya saya menyangsikan validitas mereka,” kata Yan.
Dia melanjutkan, bahkan film belum lolos sensor dari LSF bisa ikut dan menang FFI adalah keteledoran luar biasa.
“Ini ngawur. Ada yang belum lolos sensor, dan belum tayang di bioskop. Meski kemudian, ada perubahan peraturan, belum tayang bioskop tidak apa-apa, karena ada OTT,” katanya.
Cacat yang lain, masih menurut Yan, kategori pemain anak-anak dihilangkan. Dan harus bertanding dengan aktor senior.
“Ini saya protes. Rachmat Hidayat dan WD Mochtar pada sebuah masa pernah mengundurkan diri sebagai nominator FFI, saat disandingkan dengan anak-anak dalam sebuah nominasi. Karena tersinggung ditandingkan dengan akting anak- anak,” katanya.
Hal senada diungkapkan Amazon Dalimunthe. Menurut dia, ada yang hilang dalam gelaran FFI di periode masa kini. Yaitu hilangnya kampanye film, sehingga gairahnya turut hilang juga.
“Karena masyarakat tidak aware dan memang seperti sengaja tidak dilibatkan. Karenanya sudah saatnya penyelenggaraan FFI dikembakikan ke wartawan. Kami bukan sempurna, tapi telah menyaksikan dan turut menyelenggarakan berbagai ajang awarding film,” kata Amazon sembari menambahkan, wartawan cenderung dianggap musuh oleh penyelenggara film kiwari.
Sebagaimana Yan Widjaya dan Amazon Dalimunthe, Ipik Tanoyo yang turut hadir dalam pertemuan dengan Direktur PMMB juga mengatakan hal senada.
“Ya, saat ini wartawan selalu disepelekan. FFI kemarin di Balai Sidang, kita tidak boleh masuk ke Plennary Hall. Meski sudah melalui rapid test. Intinya dalam penyelenggaraan FFI belakangan ini, wartawan tidak dianggaplah,” kata wartawan senior itu.
Serupa, Wina Armada Sukardi menjelaskan, sejak FFI ditangani BPI yang sekarang sedang demisioner, memang tidak bersahabat dengan wartawan.
Wina menjelaskan, BPI memang ada di Undang- Undang, dan anggotanya diangkat oleh Keppres. Masalahnya badan hukum BPI dalam UU tidak jelas dan kontraversial.
“Mereka hanya Swasta Mandiri, tapi diubah badan hukumnya menjadi Perkumpulan oleh mereka sendiri. Ini men-downgrade diri sendiri. Turunannya, hibah dari negara hanya boleh sekali, karena BPI hanya sebagai badan hukum Perkumpulan, bisa kena korupsi kalau menerima bantuan,” katanya.
Kedua kewenangan BPI, disebutkan mengadakan FFI, membuat film dan sebagainya.
“Ihwal membuat festival film, bukan berarti mencaplok penyelenggaraan FFI. Bikin banyak festival film di Indonesia. Dua tahun silam, kita mau memboikot dan menggugat, tapi kita urungkan. Jadi, harusnya BPI bikin festival film sendiri, dan memasarkan film Indonesia. Tapi itu tidak mereka lakukan. Malah mencaplok FFI,” kata Wina.
Intinya Wina Armada mengingatkan,
banyak problem hukum di BPI yang membahayakan pihak pemberi dana, dan itu harus diselesaikan.
Meski demikian Wina mengaku tidak anti BPI.
“Perlu dicatat, kita tidak sentimen dengan BPI, tapi BPI tidak mempunyai otoritas atas film Indonesia. Karena BPI hanya Badan, yang cenderung menjadi benalu. Kalau inspektorat jeli, dan orang Kejaksaan iseng, bahaya BPI. Yang pasti arogansi BPI luar biasa sekali. Sekarang mereka domisioner, dan seharusnya tidak boleh mengambil keputusan. Jadi ada problem di BPI. Sejak ada BPI, tidak ada pergerakan di film Indonesia,” tekan Wina.
Ihwal FFI, menurut Wina Armada, wartawan sejatinya berposisi sebagai pelaku, bukan pelengkap. Karena wartawan yang membikin FFI.
“Jadi kita bukan sekedar pengemis yang minta dilibatkan. Tapi founder FFI. Tapi saat ini, FFI diklaim hanya milik asosiasi. Di luar itu, minggir saja,” katanya.
Meski demikian, Wina tetap enggan berkonflik dengan BPI, walau jika terpaksa harus berhadapan di muka hukum, dia mengaku sanggup menghadapi. “Biar hukum yang memutuskan, siapa yang selama ini keliru atau benar,” pungkasnya seperti dilansir dari laman suaramerdeka.
Comments ( 0 )