Antara Senayan dan Nelayan: Refleksi Keberanian dalam Kesederhanaan
Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute.
Di antara hiruk-pikuk politik nasional, seorang nelayan bernama Kholid muncul sebagai sosok yang mengejutkan. Ia bukan seorang politisi, bukan pula pemilik modal besar, namun keberaniannya dalam menyuarakan ketidakadilan di sekitar PIK 2 telah menggema lebih luas dibandingkan suara 580 anggota DPR yang duduk di Senayan. Dengan narasi yang kuat dan keberpihakan pada rakyat kecil, Kholid mengingatkan kita bahwa suara kebenaran tidak selalu bergantung pada jabatan, pakaian mewah, atau panggung kekuasaan. Terkadang, suara paling lantang justru muncul dari mereka yang selama ini dianggap pinggiran—seorang nelayan yang hidup dari laut dan memahami bagaimana kerakusan kuasa dapat menggerus hak-hak mereka yang lemah.
Di Senayan, para politisi berkumpul dengan segala atribut kekuasaan. Mereka tampil rapi, berbicara dengan bahasa politik yang sering kali berputar dalam retorika, namun nyaris tak terdengar dalam realitas perjuangan rakyat kecil. Mereka adalah wakil rakyat, tetapi tak jarang rakyatlah yang harus berjuang sendiri tanpa kehadiran mereka. Sebaliknya, Kholid dengan kesederhanaannya justru menjadi suara yang menggema. Ia tidak memiliki kepentingan politik atau ekonomi yang harus dilindungi, tidak terikat oleh kompromi yang membelenggu. Inilah yang membuat suaranya lebih tajam dan lebih autentik dibandingkan mereka yang seharusnya menjadi pembela kepentingan rakyat di Senayan.
Pagar bambu di sekitar PIK 2 bukan sekadar simbol fisik dari pembatasan akses, tetapi juga metafora dari tembok ketidakadilan yang melindungi kepentingan segelintir pemodal besar. Di balik pagar itu, ada kekuatan besar yang berusaha menyembunyikan sesuatu—sebuah praktik eksklusivitas yang membatasi ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat pesisir. Kholid bukan hanya berbicara tentang pagar bambu secara harfiah, tetapi juga tentang ketimpangan yang terus terjadi: bagaimana kepentingan pemodal sering kali mengorbankan hak rakyat kecil yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Yang menarik, meskipun Kholid hanyalah seorang nelayan, suaranya lebih didengar daripada suara ratusan anggota DPR yang berkantor di Senayan. Mengapa demikian? Karena keberaniannya lahir dari realitas, bukan dari konstruksi politik yang sering kali penuh kepalsuan. Kholid tidak perlu pidato panjang atau janji manis. Keberaniannya muncul dari kepedulian sejati terhadap masyarakatnya, sesuatu yang justru semakin langka di kalangan politisi.
Di titik ini, kita dipaksa untuk bertanya: apakah demokrasi kita benar-benar memberikan ruang bagi suara rakyat? Jika seorang nelayan bisa lebih berpengaruh daripada 580 anggota DPR, maka ada sesuatu yang salah dalam sistem representasi kita. Senayan seharusnya menjadi tempat di mana suara-suara seperti Kholid mendapatkan dukungan dan perlindungan, bukan tempat yang justru diam ketika rakyatnya tertindas.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa perubahan sering kali dimulai dari suara-suara kecil yang berani melawan arus. Kholid telah membuktikan bahwa keberanian dan kejujuran dapat menembus pagar kekuasaan yang tinggi. Ia tidak memiliki akses ke ruang-ruang elite, tetapi ia memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga: kepercayaan dari rakyat kecil yang melihatnya sebagai simbol perlawanan.
Di antara Senayan dan nelayan, ada ironi yang menyedihkan tetapi juga harapan yang membakar. Jika seorang nelayan bisa berbicara lebih lantang daripada 580 anggota DPR, maka pertanyaan terbesar yang harus kita ajukan bukan hanya kepada para politisi di Senayan, tetapi juga kepada diri kita sendiri: apakah kita cukup berani untuk berdiri di sisi kebenaran, meski hanya bersenjatakan suara? Kholid telah memberikan jawabannya.
Comments ( 0 )