Andai Saja Umar bin Abdul Aziz Orang Indonesia

Andai Saja Umar bin Abdul Aziz Orang Indonesia

Oleh: M. Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate

     Semua pejabat wajib membaca biografi Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke-8 Dinasti Umayyah. Kemasyhuran legacy-nya ribuan tahun melampaui masa kepemimpinannya yang sangat singkat, yaitu 2 tahun 137 hari (periode 717-720).  Juga melampaui umurnya yang 38 tahun (682-720).  Umar bin Abdul Aziz dikenal sangat bersahaja, zuhud, bijak, dan pemimpin yang bersih.
 

Dia sangat peduli kepada rakyat, terutama orang-orang kecil yang termarginalkan. Sudah menjadi wataknya betapa sering menyamar ke tengah-tengah rakyat. Ia ingin melihat dengan mata kepala sendiri kondisi rakyatnya. Ia ingin memastikan, di bawah kepemimpinannya tidak ada rakyat terzalimi, tertindas, atau mengalami ketidakadilan.


     Di awal pemerintahannya, mantan Gubernur Madinah (706-712) ini membersihkan harta-hartanya. Dalam benaknya, harta keluarganya mungkin diperoleh secara tidak benar. Suatu hari Umar memanggil istrinya, Fatimah binti Abdul Malik. Kepada sang istri, Umar bilang, "Pilihlah olehmu, kamu kembalikan perhiasan itu ke baitul mal atau kamu izinkan aku untuk berpisah denganmu? Sebab aku sangat membenci jika aku, kamu, dan perhiasan itu berada dalam satu rumah.

Fatimah menjawab, “Aku akan tetap memilih kamu daripada perhiasan ini, bahkan jika ada yang lebih dari perhiasan ini, aku akan tetap memilihmu." 


     Umar bin Abdul Aziz langsung menyuruh pegawainya untuk membawa dan menyimpan perhiasan istrinya untuk negara (baitul mal). Belakangan, Yazid bin Abdul Malik, pengganti Umar menawarkan Fatimah untuk mengambil kembali perhiasan itu,  "Jika kamu mau, semua perhiasan itu akan aku kembalikan lagi padamu." Fatimah menjawab, "Tidak, mana mungkin saya menyatakan rela melepas perhiasanku saat suamiku masih hidup namun melepas kerelaan itu ketika ia sudah wafat." 


     Cerita lain yang paling sering kita dengar adalah perkara lampu. Suatu malam saat Umar sedang merampungkan pekerjaan di ruang kerja, masuklah putranya. ”Untuk urusan apa putraku datang ke sini: urusan negara atau keluarga?” tanya Umar. ”Urusan keluarga, ayahanda,” jawab putranya.

Sejurus kemudian tiba-tiba ruangan gelap. Umar memadamkan lampu di atas mejanya. ”Loh kenapa ayah padamkan lampu?” tanya putranya. Umar memberi penjelasan, ”Anakku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara.

Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara. Sedangkan perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga." Umar kemudian meminta stafnya mengambil lampu dari ruangan dalam. "Nah, sekarang lampu ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan mau ngomong apa anakku!"    


    Kisah-kisah di atas seperti tamparan keras ketika kita menyaksikan perilaku para pejabat saat ini. Mencintai rakyat tapi keras pada keluarga. Ketika Umar memberikan hartanya untuk rakyat, sebaliknya para pejabat sekarang justru berlomba-lomba menguras uang rakyat. Korupsi merajalela.

Bukan tambah terkisis, malah terus menyebar masif bak kanker stadium lanjut. Pada awal-awal reformasi, korupsi seperti barang najis. Tapi makin ke sini justru makin permisif. Dalam suatu diskusi di Jakarta Utara, beberapa tahun lalu, saya pernah berseloroh, kalau di zaman Orde Baru, semua barang yang ada di meja hilang dikorupsi. Tetapi di zaman reformasi sekarang, malah mejanya juga ikut hilang digondol maling perlente. 


    Sudah tak malu-malu lagi, para pejabat justru memperjuangkan keluarganya untuk jabatan politik/jabatan publik. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah terang-terangan. Jabatan-jabatan publik seperti gubernur, bupati, wali kota dibagi-bagi di antara keluarga: kakak, adik, ipar, anak, sepupu, dan lain-lain.

Di partai politik, bapak, ibu, anak, kakak, adik, keponakan, justru kumpul bareng. Jadi seperti pemerintahan atau partai keluarga. Kalau ada peraturan yang mengganjal, tinggal ajukan uji materi agar peraturannya berubah. Semua beres! Mereka bahkan saling mendukung dan bekerja sama. 


    Ironisnya mereka tidak merasa bersalah. Kata mereka, demokrasi memberi hak untuk semua orang. Tolong renungkan bahwa demokrasi itu adalah “pembatasan kekuasaan” untuk mencegah abuse of power. Makanya masa  jabatan dibatasi. Maksimal dua periode. Soal nepotisme, dalam UU No 28 Tahun 1999, jelas-jelas perbuatan penyelenggara negara yang melawan hukum, yang menguntungkan kepentingan keluarga atau kroni. Jadi, kalau ada yang memberikan jalan untuk keluarganya, berdasarkan UU itu, adalah perbuatan melawan hukum.


    Praktik KKN sudah pada “tingkat dewa”.  Masif dan terstruktur. Praktik transaksional dan bagi-bagi kursi kekuasaan kian telanjang. Balas budi atau balas jasa tak terhindarkan, karena sudah berkeringat, berteriak, berotot mendukung dalam kontestasi pemilihan.

Karenanya, kursi di kabinet atau komisaris di perusahaan pelat merah bisa diisi berdasarkan koneksi, kedekatan, orang dalam, atau relawan, bahkan mungkin saja buzzer diangkat menjadi tim ahli. Prinsip meritokrasi yang menilai kualifikasi seseorang berdasarkan kemampuan, bakat, dan usahanya dinomorduakan. 


    Penting kita menyimak sabda nabi, “Siapa saja yang mengangkat seorang laki-laki terhadap suatu kelompok, sedangkan di tengah mereka ada orang yang lebih diridai Allah dari laki-laki itu, maka sungguh dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukmin” (HR Ahmad dan Al-Hakim).


    Rasanya demokrasi menjauh dari rakyat, sang pemilik mandat. Rakyat hanya diperlukan dalam siklus lima tahunan ketika pesta pemilu digelar. Saat itu, rakyat seakan-akan diperhatikan, yang sebetulnya hanya diincar suaranya. Seusai pesta, semuanya terasa sepi. Rakyat kembali dengan kesulitan hidupnya, berusaha bertahan (survive). Sementara para pembesar negeri menikmati kehidupan bersama para kolega dan kroninya.

Sampai wakil rakyat pun tak peduli, tetap menggelar rapat di hotel termewah, di tengah gerakan penghematan melanda seluruh negeri. Kata orang di jalan sih, pejabat kita tidak peka lagi. 


    Di sana-sini, banyak orang berteriak tentang situasi yang serba sulit. Kalau ada rakyat berteriak, pembesar bisa marah. Ketika tagar #kaburajadulu viral sebagai ekspresi kepenatan publik melihat situasi yang acak-adut, justru dikomentari pejabat, “jangan balik lagi”. Ketika tagar #indonesiagelap saat aksi mahasiswa, direspons pejabat dengan kata-kata “yang gelap kau”. Ketika kabinet gemuk dikritisi, ditanggapi dengan kata-kata kasar, “ndasmu!”


     Bukan saja respons yang tidak berempati, tetapi juga sangat sarkas dan antikritik. Rakyat telah memberikan suaranya, telah mendelegasikan mandatnya. Janganlah dikhianati. Nabi bersabda, “Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat, sedangkan dia dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Andai saja Umar bin Abdul Aziz itu orang Indonesia, negeri ini insyaallah _baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur_. Andai saja, andai, andai…!