Teror: Antara Nyata dan Fatamorgana

Teror: Antara Nyata dan Fatamorgana
Teror: Antara Nyata dan Fatamorgana

Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi, Pengurus DPP Partai Demokrat

 

Dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan berpendapat, teror bukan sekadar tindakan kriminal. Ia adalah pernyataan kasar bahwa ada yang ingin membungkam suara, mengintimidasi keberanian, dan merendahkan akal sehat kolektif kita sebagai bangsa. Teror kepala babi yang dialamatkan kepada redaksi Tempo bukan hanya pelecehan simbolik, melainkan bentuk kekerasan psikologis terhadap jurnalisme dan logika nurani kita sebagai warga negara.

 

Kita bisa tidak sepakat dengan isi berita, opini, atau bahkan cara media membingkai fakta. Namun ketika kita meresponsnya dengan kepala babi dan bangkai tikus, yang ditinggalkan bukan jejak argumen, melainkan bau busuk otoritarianisme yang ingin menyelinap ke ruang demokrasi kita. Ini bukan persoalan kecil, ini bukan ‘masakan lelucon’ yang bisa disajikan dingin tanpa empati. Ini adalah teror yang seharusnya dikutuk keras oleh siapa pun yang masih percaya pada republik dan konstitusi.

 

Sayangnya, respons dari pemerintah, atau tepatnya dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, justru melukai nalar dan mengundang tanya: masihkah empati menjadi bagian dari komunikasi publik? Ketika suara resmi negara merespons teror dengan kata “masak saja kepala babi itu”, yang disampaikan bukan sikap, melainkan sinisme yang merendahkan penderitaan orang lain. Alih-alih menjadi pendingin suasana, pernyataan ini justru menyalakan bara kekecewaan publik terhadap cara pemerintah membaca situasi yang genting.

 

Sebagai kader Partai Demokrat, saya percaya bahwa dalam menghadapi ancaman—baik nyata maupun simbolik—negara harus hadir dengan ketegasan, bukan kelakar. Kita harus membedakan antara mengutuk perbuatan dan menuduh pelaku tanpa dasar. Jika seseorang kehilangan sepeda, kutuklah pencurinya, jangan menuduh tetangga tanpa bukti. Jika terjadi teror, kutuklah penerornya, siapa pun ia, bukan membayangkan dalang di baliknya sebelum ada kepastian hukum.

 

Bisa saja kita berandai-andai, dan memang tidak jarang terjadi bahwa teror semacam itu justru sengaja dilakukan oleh simpatisan sendiri untuk menggoyang opini masyarakat. Sejarah politik kita mengenal banyak kasus semacam ini, di mana teror justru dijadikan alat untuk menciptakan simpati dan menggiring persepsi. Karena itu, fokus utama harus pada pelakunya terlebih dahulu. Temukan siapa yang mengeksekusi, baru kemudian kita melacak siapa yang menggerakkan. Bukan sebaliknya. Jangan terjebak pada fatamorgana narasi yang dikemas dengan dramatisasi, sementara fakta masih tertinggal di belakang.

 

Teror bukan hanya urusan pelaku, melainkan juga bagaimana negara menyikapinya. Jika tanggapan yang keluar justru melecehkan logika dan rasa keadilan publik, maka teror itu telah mendapatkan panggungnya. Kita, tanpa sadar, sedang memberi ruang pada tindakan biadab untuk menjadi bagian dari dinamika politik kita. Bukankah ini bentuk kekalahan paling menyedihkan dalam demokrasi?

 

Kebebasan pers bukan milik wartawan semata, ia adalah milik semua warga negara. Ketika seorang jurnalis diteror, yang diserang bukan hanya dirinya, melainkan hak kita semua untuk mengetahui kebenaran. Maka tugas negara bukan sekadar mengejar pelaku, tetapi memulihkan martabat hukum dan akal sehat publik yang sedang dilukai.

 

Kepada para pelaku teror, kami hanya ingin berkata: sebesar apa pun rasa tidak sukamu terhadap suara-suara yang berbeda, jalan teror tak akan pernah membuatmu benar. Kepada pemerintah, khususnya pejabat komunikator negara: berbicaralah dengan tanggung jawab. Setiap kata Anda adalah gema negara. Dan kepada pers: teruslah menjadi mata dan telinga kami, rakyat. Jangan pernah padam hanya karena mereka ingin mengganti pena Anda dengan kepala babi.

 

Bangsa ini dibangun oleh keberanian berpikir dan kebebasan menyuarakan. Jangan biarkan ia runtuh oleh teror simbolik dan komunikasi yang tak bertanggung jawab. Kita bukan bangsa pengecut. Kita adalah bangsa yang dibangun di atas kemerdekaan dan harga diri.