Pragmatisme Inggris: Instrumen "Tumpul", Tarif Trump

Pragmatisme Inggris: Instrumen "Tumpul", Tarif Trump

Oleh Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR

     "TARIF TRUMP" memukul pertumbuhan. Mengancam pengangguran inklusif. Melahirkan prospek PHK di seluruh dunia! 


     Inggris sadar betul. Sejak dini! Negeri "Big Ben" ini, telah berancang-ancang memangkas biaya operasional negara sebesar 15 persen. Konsekwensinya, 10.000 PNS akan mengalami PHK.


     Segala kebijakan akan didaur ulang. Pemotongan anggaran adalah pilihan sulit, tetapi tak ada pilihan. Namun Inggris, tetap berpegang pada aturan fiskal, dengan tidak menaikkan pajak terhadap rakyatnya. Rakyat tak boleh "disakiti"!


     Perubahan "roadmap" dunia karena "ulah Trump", memang tak terhindarkan. Akibat yang ditimbulkannya pun menjadi signifikan. Terutama di sisi pertumbuhan. Hampir semua negara mengoreksi pertumbuhannya. Tidak terkecuali Inggris.


      Tak perlu ditutup-tutupi. Semata untuk melindungi kepentingan politik (daya tahan pemerintah). Di mana Gubernur Bank Sentral Inggris (Bank of England), Andrea Bailey mengakui "blak-blakan. Tak ada "gimmick" atau "sirkus" kata-kata.


    Ekonomi Inggris menghadapi guncangan (kontraksi) pertumbuhan. Semua itu, akibat kebijakan perdagangan (trading) Donald Trump. Trump telah merubah 80 tahun regulasi yang "established", dan mapan.


     Dana moneter Internasional (IMF) sendiri (karena Trump), telah mendegradasi pertumbuhan ekonomi Inggris, sebesar 0,5 persen. Dari 1,6 persen, menjadi 1,1 persen untuk tahun fiskal 2025.


     Kekhawatiran angka PHK (pengangguran) di Inggris bisa saja terjadi. Seperti yang dikhawatirkan Menteri Keuangan Inggris, Rachel Reeves. Pemangkasan 10.000 PNS Inggris, sebagai langkah penghematan beban negara.


      Tidak salah, bila produsen mobil Inggris cemas dengan tarif (normatif) sebesar 25 persen impor mobil Inggris ke AS. Itu bisa menjadi alasan Trump, "membalas"  tarif yang lebih tinggi impor (dari AS ke Inggris).


      PHK terhadap pekerja di industri mobil Inggris, seperti mengikuti langkah penghematan pemerintah. Bila angka 25 persen  tidak dicabut. 
    Selama ini (sebelum Perang Tarif Trump), AS telah mengenakan tarif dasar 10 persen (pada semua negara). Termasuk Inggris. Pemerintah Inggris nampaknya akan mendengarkan keluhan para eksportirnya, dengan memangkas angka 25 persen tadi.


      "Perang Tarif" adalah "instrumen tumpul", yang akan merugikan dan menghambat pertumbuhan. Bukan hanya Inggris, AS, Perancis, China, Indonesia. Semua akan menerima akibat buruknya.


      Keir Starmer yang memenangkan kursi PM  Inggris dari Partai Buruh (2024) lalu, kini di persimpangan jalan. Hubungan dagang tradisional,  dan historis AS-Inggris. Kini  makin pragmatis.


      Menunggang dua "kuda" (AS dan Uni Eropa) saja saat ini. Tidaklah cukup! Pragmatisme Inggris, dengan  menunggangi satu "kuda" lagi (Tiongkok), sesuatu  yang logis!


     Tidak ada lagi "tabu" politik, demi kepentingan ekonomi.


     Tujuannya, mengamankan kontraksi perekonomian Inggris, pasca "ulah Trump". Inggris yang keluar Uni Eropa (Brexit 2016), dan resmi menarik diri dari Uni Eropa (UE) tahun 2020. Kini menghadapi realisme.


     Tak ada lagi "idealisasi", atau dramatisasi "kedekatan" eksklusif Inggris-AS. Setelah Trump lagi tak mendengarkan suara perkawanan Inggris (bidang perdagangan).