Poligami: Pembatasan Bukan Pembebasan

Poligami: Pembatasan Bukan Pembebasan

Oleh: M Subhan SD 
Co-Founder Palmerah Syndicate
    
    Poligami! Satu kata ini amat menarik. Tetapi sekaligus kontroversial. Terkadang bermakna amelioratif tapi juga peyoratif. Tak heran, satu kata itu sering bikin orang berdebat tak selesai semalam suntuk. Paling prihatin sering dijadikan isu panas oleh pihak-pihak yang ingin mendiskreditkan Islam. Bahkan sejak lama dijadikan peluru oleh para orientalis menembaki Islam dan terlebih Nabi Muhammad secara personal. Isu poligami menjadi pintu masuk mereka mencerca nabi dengan tuduhan konyol, sarkas, menyakitkan: suka perempuan, maniak seks, pedofil, dan sebutan-sebutan sarkas lainnya. Tuduhan yang tak berdasar sama sekali


     Ketika sistem Islam sulit dicari celah kesalahannya, mereka menyasar personalitas nabi.  Karena nabi menikah lebih dari seorang istri, lantas dituduh bahwa Islam dan nabi membolehkan poligami, yang diartikan sebagai bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Tiba-tiba kok Islam (dan tentu saja nabi) dijadikan sasaran tembak. 


     Kita lihat sosio-historisnya. Sesungguhnya poligami adalah praktik yang sudah sangat tua, jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7. Peradaban-perabadan kuno sudah mempraktikkan poligami. Banyak istri bahkan gundik-gundik bertebaran sudah biasa di peradaban Mesir, Sumeria, Asyuria, sampai China. Nabi Ibrahim memiliki istri empat. Begitu juga Nabi Ya’kub, sang cucu, punya istri empat. Nabi Daud juga banyak istri. Anaknya, Nabi Sulaiman lebih banyak lagi. Sulaiman (Salomo) memiliki 700 istri dan 300 gundik (1 Raja-raja 11: 3). Rehabeam, anak Salomo, punya 18 istri dan 60 gundik (2 Tawarikh 11; 21).


     Di Arab pra-Islam juga sama. Terutama kepala-kepala suku (kabilah) semuanya beristri banyak. Karena, kekuatan sebuah kabilah bergantung jumlah masyarakatnya. Semakin banyak jumlahnya semakin kuat. Kala itu perang antarsuku menjadi ruang perebutan kekuasaan. Karena adu otot, makin besar jumlah orangnya makin berpeluang menang dan menjadi pemegang kuasa di tanah gurun. Di China, justru jauh setelah Islam, salah satu kaisarnya, yaitu Kaisar Kanxi (1654-1722) dari Dinasti Qing memiliki istri dan selir sampai 3.000 orang. Sekarang ini, praktik poligami mudah ditemukan di Afrika Sub-Sahara.


    Dengan demikian, sangat jelas ketika Islam datang, praktik poligami sudah sangat tua. Jadi, tuduhan keliru tatkala Islam diminta bertanggung jawab terhadap praktik poligami. Islam justru mengatur dan mengeliminasi poligami. Bertahun-tahun nabi melakukan pernikahan monogami dengan Khadijah. Beberapa tahun setelah Khadijah wafat, barulah nabi berpoligami. Nabi menikah dengan 10 perempuan, tetapi seorang meninggal sebelum nabi. Dengan melihat realita sosio-historis tersebut, sudah terpatahkan tuduhan poligami identik atau diintroduksi Islam.


     Tuduhan berikutnya, apakah nabi berpoligami karena nafsu? Karena faktor perempuan? Bukan sama sekali. Ketika menikah pertama kali di usia 25 tahun, Khadijah justru berstatus janda dua kali. Kemudian, pernikahan dengan istri-istrinya, setelah Khadijah, juga semua dilatari alasan non-biologis. Dari semua istrinya, hanya seorang yang gadis, yaitu Aisyah. Selebihnya berstatus janda dan usianya sudah lanjut pula. Semua pernikahan nabi tak lepas dengan penyebaran Islam. Setidaknya ada tiga motif pernikahan nabi, yaitu politik, dan sosial, agama/aturan (Abdurrahman al-Sheha, _Muhammad, The Messsenger of God_). 


     Kita bisa melihat motif politik sangat kuat ketika nabi menikahi dua putri tokoh-tokoh Quraisy yang dihormati di komunitasnya, yaitu Aisyah, putri Abu Bakar Sidik; dan Hafsah, putri Umar bin Khattab. Dengan mempersatukan ikatan keluarga, nabi sesungguhnya sedang membangun aliansi politik demi perjuangan Islam. Nabi membutuhkan dukungan politik dari kabilah-kabilah Quraisy untuk penyebaran risalah Islam. 


     Motif sosial, ini justru yang banyak. Nabi mengambil tanggung jawab sebagai bentuk tanggung jawab Islam. Pada Perang Uhud tahun 625, sekitar 70 sahabat menjadi syahid. Realita yang dihadapi nabi bahwa banyak janda dan anak yatim. Tentu akan menjadi problem sosial pasca perang? Bagaimana Islam menghadapi keadaan tersebut? Jika tidak ada jalan keluar, jangan harap orang akan mengikuti seruan nabi. Buat apa berjihad kalau Islam membiarkan keluarga mereka telantar? Kira-kira narasi seperti itu akan viral di seantero Mekkah. 


    Nabi meletakkan tanggung jawab itu pada dirinya. Maka ia pun menikahi janda-janda dan tua pula. Nabi melakukannya untuk menghormati mereka dan suami mereka yang syahid. Itulah bentuk tanggung jawab Islam. Misal, nabi menikahi Hindun bin Abi Umayyah, setelah suaminya, Abdullah bin Abdul Asad syahid di Perang Uhud. Hindun juga ikut berperang sebagai divisi pendukung selama perang. Hindun adalah janda dengan empat orang anak.


   Ketika menikah dengan Saudah sebelumnya, nabi sangat kasihan melihat ia dikucilkan dari keluarganya yang masih menyembah berhala dan menekan agar Saudah kembali ke agama nenek moyang mereka. Padahal Saudah adalah barisan perempuan yang berhijrah pertama ke Habasyah atau Abisinia (kini Ethiopia dan Eritrea), sekitar tahun 615. Nabi tak punya cara untuk menolongnya agar tidak murtad lagi, selain menikahinya. 


   Hal sama juga dilakukan nabi ketika menikahi Ummu Habibah (Ramlah bin Abu Sofyan). Ramlah juga rombongan yang ikut hijrah ke Habasyah, negeri Raja Najasyi (Negus) yang beragama Kristen. Di sana,  suaminya, Ubaidillah bin Jahsy malah berpindah menjadi Kristen. Untuk mencegah hal itu diikuti Ramlah, nabi segera mengirim lamaran ke Habasyah. Dan, Raja Najasyi malah ikut membantu dengan memberi kado dirham. 


    Kalau pernikahan dengan Zainab binti Jahsy juga dilatari motif ketentuan norma agama. Zainab adalah mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat nabi yang mantan budak. Walaupun nabi menyarankan untuk bertahan, tapi perceraian tak terhindarkan. Zainab sesungguhnya masih kerabat dengan nabi. Ia dinikahkan dengan Zaid agar posisi mantan budak jadi setara. Islam membawa pesan manusia itu setara. Juga agar Zainab tidak menanggung malu sebagai mantan istri mantan budak. Orang Arab suka nyinyir dan mencemooh, dan menganggap nabi sudah mengincar Zainab. Dalam tradisi Arab,  tidak boleh menikahi perempuan mantan istri anak angkat, karena anak angkat itu sama dengan anak kandung. Dalam syariat Islam, anak angkat beda dengan anak kandung. Nabi menjalankan ajaran agama sekaligus mengangkat martabat Zainab.


    Soal agama pula yang menjadi motif pernikahan dengan Aisyah, selain motif politik. Ada misi khusus. Islam memiliki hukum-hukum menyangkut masalah perempuan. Tetapi terkendala karena nabi seorang laki-laki. Nabi membutuhkan semacam asisten Perempuan untuk menyampaikan hukum-hukum agama menyangkut problem mereka. Terbukti Aisyah dikenal sangat cerdas dan memainkan peran tersebut dengan baik, antara lain dalam riwayat hadits-hadits. Kalau dituding masih kecil, sampai awal abad ke-21 pun di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, kawin muda masih berlangsung (UN data, 2010). 


    Jika sudah memahami konteks, kita coba baca teksnya. Bahwa tujuan poligami bukan "pernikahannya", melainkan untuk "keadilan perempuan dan anak yatim”. “Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim” (QS. Anu-Nisa: 3).


    Berikutnya Allah sudah menegaskan, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa: 129l).


    Sebetulnya, seperti dikatakan banyak mufasir, Islam justru condong monogami. Untuk menghapus poligami dan praktik-praktik lama, memang tidak dengan sekali pukul atau revolusioner. Menurut KH Husein Muhammad (swararahima.com, 12 Maret 2020) transformasi Islam selalu bersifat gradual, akomodatif, dan dalam waktu yang sama sangat kreatif. Memperbaiki keadaan secara persuasif, bertahap, dan mendialogkannya dengan intensif. 


    Ketika Qais bin Harist masuk Islam, ia punya delapan istri. Kata Qais, “Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan orang istri. Aku mendatangi dan menceritakannya kepada nabi. Kemudian nabi mengatakan, pilih empat di antara mereka” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah). Begitu juga “Ghilan bin Salamah masuk Islam,  mempunyai sepuluh istri. Mereka semua masuk Islam bersamanya. Nabi Muhammad menyarankan dia untuk hanya mengambil empat orang saja” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirimizi). 

     Kalau kita teliti benar, dalam soal angka (kuantitas), dari jumlah yang banyak menjadi empat, lalu menjadi satu, artinya itu bukan pembebasan. Pesan Islam sudah jelas, poligami sesungguhnya adalah pembatasan dari pembebasan yang dilakukan manusia sebelum Islam hadir.