Narasi, Spekulasi, dan Politik di Persimpangan Media: Membaca Gejala Ketersangkaan Hasto
Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute
KABARINDO, JAKARTA - Fenomena pemberitaan tentang dugaan ketersangkaan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, oleh KPK, meskipun belum dikonfirmasi secara resmi, mencerminkan kompleksitas hubungan antara komunikasi massa, psikologi publik, dan politik modern. Ketika lembaga resmi seperti KPK belum memberikan pernyataan, tetapi narasi publik telah melaju, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: siapa yang bermain, apa motif di balik “peluncuran” informasi ini, dan bagaimana seharusnya semua pihak menyikapinya?
1. Siapa yang Bermain?
Dalam dinamika ini, aktor-aktor yang mungkin terlibat dapat berasal dari berbagai spektrum:
• Kompetitor Politik:
Melemahkan PDIP melalui Hasto, figur sentral, bisa menjadi strategi politik untuk menurunkan kepercayaan publik terhadap partainya .
• Faksi Internal:
Konflik internal partai bisa memunculkan kebocoran informasi sebagai cara menekan pihak tertentu, termasuk Hasto, untuk menggeser dominasi atau memengaruhi arah partai.
• Lembaga Hukum atau Aparat Terkait:
Jika informasi ini berasal dari lingkup KPK, pertanyaannya adalah apakah ini kebocoran tak terencana, atau bagian dari upaya untuk membangun narasi yang mendahului proses hukum.
• Media dan Afiliasinya:
Media massa juga memiliki peran signifikan. Dalam beberapa kasus, media bisa menjadi aktor independen yang mencari keuntungan dari eksklusivitas berita, atau alat dari kepentingan politik tertentu untuk menciptakan opini publik.
2. Maksud dan Tujuan “Peluncuran” Informasi
Penyebaran informasi ini, yang belum memiliki konfirmasi resmi, patut dicurigai memiliki motif tertentu, seperti:
• Menguji Reaksi Publik (Test the Water):
Informasi seperti ini bisa menjadi eksperimen untuk mengukur bagaimana masyarakat merespons isu, terutama terkait kredibilitas PDIP dan Hasto.
• Melemahkan Stabilitas PDIP:
Isu ini dapat digunakan untuk menyerang partai secara strategis, baik untuk mengurangi kepercayaan publik maupun mengganggu konsolidasi internal.
• Mengalihkan Perhatian Publik:
Tidak menutup kemungkinan bahwa isu ini dimunculkan untuk menutupi masalah lain yang lebih besar, baik dalam ranah politik maupun kebijakan nasional. Meski frasa ini paling sulit dibuktikan.
• Tekanan atau Peringatan Politik:
Jika informasi ini berasal dari kebocoran yang disengaja, maka ini mungkin bisa dimaknai sebagai bentuk “tekanan” kepada Hasto Kristianto pribadi atau dalam posisinya sebagai Sekjen PDIP.
3. Kesengajaan atau Kebocoran?
Asal-usul informasi ini perlu dipertanyakan. Apakah ini kebocoran yang tak disengaja, atau strategi yang dirancang? Beberapa kemungkinan yang dapat dianalisis:
• Kesengajaan Terencana:
Jika informasi ini sengaja dirilis, maka jelas ada agenda di baliknya, baik untuk melemahkan Hasto maupun sebagai bagian dari manuver politik tertentu.
• Kebocoran Tidak Sengaja:
Dalam skenario ini, informasi mungkin berasal dari diskusi internal di lingkup KPK atau jejaring politik tertentu, tetapi bocor ke publik tanpa direncanakan. Tidak ada pretensi apa-apa kecuali sifatnya yang bombastis.
• Strategi Test the Water:
Peluncuran informasi secara parsial sering digunakan untuk mengukur reaksi publik dan merancang langkah selanjutnya, baik berupa pengumuman resmi atau upaya lain.
4. Penegakan Hukum adalah Segalanya
Dalam konteks ini, prinsip penegakan hukum yang independen dan transparan adalah segalanya. KPK sebagai lembaga penegak hukum memiliki mandat untuk bekerja secara profesional dan bebas dari tekanan politik. Jika KPK benar-benar memiliki dasar hukum yang kuat untuk menetapkan tersangka, semua komponen masyarakat—media, publik, dan institusi politik—harus memberi ruang bagi KPK untuk bekerja secara tuntas tanpa gangguan.
Sebaliknya, jika informasi ini tidak memiliki dasar hukum atau merupakan hasil kebocoran yang tidak sesuai prosedur, KPK juga perlu bertindak cepat untuk mengklarifikasi demi menjaga kredibilitasnya. Kepercayaan publik terhadap KPK adalah pilar penting dalam menjaga supremasi hukum di Indonesia.
5. Demokrasi, Hukum, dan Pertarungan Narasi
Fenomena ini mencerminkan dinamika besar yang terjadi dalam demokrasi modern, di mana informasi dan narasi menjadi alat utama dalam pertarungan kekuasaan. Dalam hiruk-pikuk ini, penting untuk mengingat bahwa demokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika hukum ditegakkan secara konsisten dan transparan.
Penegakan hukum bukan hanya tentang menangani kasus tertentu, tetapi juga menjaga integritas proses hukum itu sendiri. Semua pihak—media, publik, dan politisi—harus menghormati proses hukum, memberikan ruang bagi KPK untuk bekerja, dan menahan diri dari menyebarkan narasi yang belum terverifikasi.
Akhirnya, pertanyaan besar dalam kasus ini bukan hanya tentang apa yang terjadi dengan Hasto, tetapi juga tentang apa yang terjadi dengan kepercayaan kita terhadap institusi hukum. Jika hukum ditegakkan dengan benar, hanya kebenaran yang akan menang. Jika tidak, maka yang kalah bukan hanya individu, tetapi juga demokrasi dan harapan publik.
Comments ( 0 )