Menemukan Tuhan di Jalanan
Oleh: M Subhan SD
Co-founder Palmerah Syndicate
Semalam, seusai tarawih, saya teringat diskusi dengan KH Mustofa Bisri, ulama _cum_ pujangga. Suatu waktu, sudah lama, di bulan Ramadhan juga, saya mengunjungi Gus Mus, panggilan KH Mustofa Bisri, di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin di Rembang, Jawa Tengah. Bahkan saya ikut mendengarkan di kelas Gus Mus saat _bandongan_ kitab kuning bersama para santri. Duduk bersila di barisan belakang sambil nyender di dinding. Pas buka puasa, terhidanglah kepiting segar yang lezat.
Sampai hari ini apa yang disampaikan Gus Mus kala itu masih menempel di benak. Rasanya masih relevan. Kata Gus Mus begini: orang bersepeda merasa lebih berkuasa dari pejalan kaki; pengendara motor merasa lebih berkuasa dari pengayuh sepeda; pengendara mobil merasa lebih berkuasa dari pengendara motor; pengendara bus merasa lebih berkuasa dari pengendara mobil; dan sopir truk gandengan merasa lebih berkuasa dari sopir bus.
Ini semacam hierarki kekuasaan. Biasanya hierarki kekuasaan berada dalam lingkup organisasi dan masyarakat, yang mengacu pada struktur. Tetapi di jalanan hierarki kekuasaan bisa sangat problematik. Distribusi kekuasaan di jalanan lebih rumit dengan dinamika yang tak terduga. Bisa menimbulkan tekanan, diskriminasi, dan ketidakadilan. Di jalanan kita melihat ada kasta sosial, misal, berdasarkan jenis kendaraan, merek, harga, ukuran dimensi, hingga aksesorisnya. Kendaraan mahal, mewah (_luxury brand_) dan berukuran besar berpotensi membuat pengendaranya merasa “lebih punya kuasa” di jalan.
Kita menyaksikan, setidaknya mendengar, bukan sekali dua kali kejadiannya. Ada mobil-mobil bongsor seperti Alphard, Land Cruiser, Fortuner, Pajero, atau konvoi moge Harley Davidson, dan lain-lain yang sering menjadi perbincangan atau viral di media sosial. Pengendara jenis-jenis kendaraan itu didapati sering berulah, misalnya menerobos bahu jalan tol atau jalan raya di perkotaan, terjadi keributan dengan pengendara lain, atau saat konvoi serombongan pengendara moge yang menguasai jalan. Runyamnya, juga sering dilakukan mobil-mobil berpelat merah, kendaraan dinas polisi atau tentara. Jadi ada warga sipil dan aparat.
Apalagi kendaraan mereka umumnya dilengkapi aksesoris seperti lampu strobo, lampu rotator, dan sirine. Memang, dalam Undang Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan lampu strobo untuk kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran, polisi. Untuk kendaraan pribadi dilarang dan kena sanksi administrasi dan/atau pidana. Begitu aturannya.
Kenyataannya banyak kendaraan pribadi didandani lampu rotator. Padahal, kedipan sinar lampu rotator dengan suara sirine “nguing, nguing” atau suara mesin moge yang digeber menderu-deru itu sangat mengintimidasi pengguna jalan lainnya. Dan, perilaku sebagian oknum itu dapat merusak citra pengendara kendaraan sejenis yang tidak neko-neko. Kasihan pengendara mobil-mobil bongsor yang menyetir baik-baik. Tetapi kadung jadi _labeling_ untuk kendaraan ber-body bongsor.
Padahal jalan juga punya adab. Jalan adalah ruang yang dapat diakses publik bersama-sama. Jalan berfungsi sebagai sarana mobilitas orang dari satu tempat ke tempat lain. Semua orang setara dalam mengakses jalan, tak ada privilese, kecuali yang disebutkan dalam peraturan di atas. Sama-sama bayar pajak juga. Jadi, tak boleh main klaim paling berhak di jalan.
Dulu di zaman Nabi Muhammad, orang yang nongkrong-nongkrong di jalanan ditegur. "Janganlah kalian duduk-duduk di jalanan!" kata nabi. Mereka menjawab, "Ya Rasulullah, kami tidak punya tempat lain untuk duduk di mana kami dapat bercakap-cakap." Nabi menimpali, "Kalau kamu terpaksa duduk-duduk di sana, maka laksanakanlah hak jalanan!" Agak terkejut, mereka bertanya, "Apakah hak jalanan itu ya Rasulullah?"Nabi menjawab, "Menjaga pandangan mata, menjauhi keributan, menjawab ucapan salam, menyuruh melakukan kebaikan dan melarang hal-hal yang tidak baik."
Jadi, ada hak jalan, tidak boleh diperlakukan seenaknya. Tetapi, faktanya di jalan raya, sudah bisa main serobot, tak menghiraukan marka jalan, peduli amat dengan rambu-rambu. _Traffic light_ main terobos saja. Jika macet klakson pun bersahut-sahutan bikin pekak telinga. Menerobos jalur busway sudah lumrah. Banyak pengendara motor, sudah tidak menggunakan helm, tidak punya SIM, berboncengan lebih dua orang, dan melawan arah pula. Di jalan tol, betapa banyak pengendara mobil berjalan lambat di jalur paling kanan. Padahal jalur kanan itu untuk mendahului. Sering kali diklakson atau diberi kedipan lampu dim dari arah belakang, si pengendara bergeming saja. Di bahu jalan, mobil _nyalip_ dan ngebut. Cuek, tak peduli, ndableg.
Bukan sekali dua kali terjadi keributan di jalanan. Ada mobil senggolan sedikit saja, langsung ribut. Tidak sedikit yang main tongolin senjata. Bila tidak diberi jalan atau merasa terhalang, motor pengawal atau sopirnya menghardik pengguna jalan tersebut. Belum lama ini mobil Lexus berpelat RI 36 “dirujak” di media sosial setelah petugas patwal menunjuk-nunjuk ke arah mobil Alphard taksi online dan menyerobot kemacetan di Jalan Sudirman, Jakarta. Di jalur searah Puncak, Bogor, sering kendaraan berpelat nomor polisi atau tentara menerobos aturan. Hobi menggunakan simbol-simbol lembaga tertentu. Padahal, setelah diperiksa, pelatnya bodong. Duh! Hanya ingin gagah-gagahan, memperlihatkan arogansi punya kuasa.
Arogansi jalanan (_road rage_) adalah sikap angkuh, sombong, tidak menghormati orang lain di jalan. Tindakannya dapat berupa verbal, non-verbal, atau kekerasan fisik. Biasanya merasa punya kuasa, punya posisi lebih tinggi dibanding orang lain, merasa punya beking. Padahal dampak arogansi jalanan sangatlah buruk, yaitu ada orang ketakutan dan terzalimi. Juga, dapat berdampak terjadi kemacetan lalu lintas hingga mengganggu ketertiban umum.
Dalam sejarah nabi-nabi, bangsa Madyan, kaum Nabi Syu’aib, termasuk orang yang suka duduk-duduk di jalan dan suka menakut-nakuti serta menghalangi orang-orang beriman (QS. Al-Araf: 86), yang akhirnya dibinasakan Tuhan dengan gempa dan petir (QS. Hud: 91 & 94). Jadi, perlakukanlah jalan sebaik-baiknya, patuhi aturan lalu lintas, berkendara secara tertib, dan bersabarlah. Sebab, di jalan pun ada ladang amal. Dalam hadits, nabi melihat orang yang menyingkirkan duri dari jalan – merupakan cabang iman – berada di surga. Kalau tak bisa buang duri dari jalan, jangan sebarkan duri (ancaman) ke jalan. Dengan begitu, insyaallah di jalanan kita menemukan Tuhan.
Comments ( 0 )