Ketika Mulut Terkunci

Ketika  Mulut Terkunci

Oleh: M Subhan SD 
Co-Founder Palmerah Syndicate

    Sembari ngabuburit, saya mendengarkan suara merdu Chrisye. Lagu lawas edisi tahun 1997. Judulnya _Ketika Tangan dan Kaki Bicara_, yang liriknya ditulis penyair Taufiq Ismail. Sambil mendengarkan, menyimak pelan-pelan liriknya: _Akan datang hari/Mulut dikunci/Kata tak ada lagi/Akan tiba masa/Tak ada suara/Dari mulut kita/Berkata tangan kita/Tentang apa yang dilakukannya/Berkata kaki kita/Ke mana saja dia melangkahnya_… Mendengarkan lagu itu ketika berpuasa serasa makin menyesapkan suasana Ramadhan ke dalam hati. 


   Sesaat lagu itu membuat tertunduk, seakan tak mampu mendongakkan kepala lagi. Begitu menyentuh, menyibakkan hakikat manusia sebagai hamba Tuhan. Hari-hari ini, betapa lisan menjadi kekuatan yang dapat membunuh manusia, membuat kerusakan di muka bumi. Di era digital, lisan seperti mendapatkan panggung yang penuh lampu sorot. Dunia kita hari-hari ini, dengan media sosial di genggaman, terasa penuh dengan jelaga hoaks, ujaran kebencian, _cyberbullying_, fitnah, komentar-komentar negatif. Lisan bak mitraliur yang melontarkan peluru kata-kata ke segala penjuru.


    Namun, ingat, suatu saat nanti, lisan akan terbungkam. Lisan yang selalu berdalih dengan sejuta alasan, tak bisa lagi berkata-kata. Semua kata yang dirangkai indah, tak berguna lagi.. Lisan tak mampu berargumentasi lagi. Lisan tak bisa mengadvokasi atas semua yang diucapkan. Ketika kita kembali ke hadapan Allah, Sang Maha Pencipta, lisan kita membisu. Terkunci! Tidak bisa lagi bersilat lidah. “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan-tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Yasin: 65). Tak terasa mata berkaca-kaca membaca ayat yang menginspirasi terciptanya lagu di atas. 


     Menjaga lisan lantas teringat pelajaran dari seorang Luqman, yang sosoknya diabadikan dalam Al-Quran surat ke-31, yaitu Surat Luqman. Nama Luqman di-mention dua kali oleh Allah, ayat 12 dan 13. Luqman bukan seorang nabi, tetapi sosok dan kelimuannya menjadi panutan. Dalam _Tafsir Ibnu Katsir_, disebutkan Luqman bin Anqa, bertubuh pendek, berkulit hitam, berhidung lebar, bibirnya tebal, kakinya lebar. Diduga berasal dari Nubia (sekarang Sudan) atau Habasyah (sekitar Ethiopia dan Eritrea), ada juga versi dari Yordania. Profesinya banyak versi. Disebut tukang kayu, penggembala kambing, hingga kadi (hakim). 


     Kisah Luqman adalah soal ilmu hikmah. Soal lidah di mana lisan terucap dan soal hati di mana motif tersembunyi. Suatu hari, majikannya menyuruh dia untuk menyembelih kambing. “Tolong bawakan bagian terbaik!’ kata si majikan. Luqman membawakan bagian lidah dan hati. Tak berapa lama, majikannya menyuruh kembali menyembelih kambing. “Kali ini tolong bawakan bagian paling buruk!” ujar si majikan. Luqman bergegas membawakannya, juga bagian lidah dan hati. 


     Kontan majikannya terheran-heran. “Bagaimana ini? Aku minta bagian terbaik, kamu bawakan. Minta bagian terburuk kamu bawakan juga, tapi kok bagian yang sama?” Luqman pun menjawab, “Wahai Tuanku, tak ada yang lebih buruk ketimbang lidah dan hati bila keduanya buruk, dan tak ada yang lebih baik dari lidah dan hati bila keduanya baik.”


   Kata-kata Luqman ini menyadarkan kita akan realitas yang marak di zaman sekarang. Kita menyaksikan pola tingkah manusia zaman now, betapa banyak lidah lebih tajam dari pisau dan banyak hati lebih legam penuh kedengkian. Mengingat kata-kata itu, saya termenung saat menziarahi maqam Luqman di kawasan bisnis di kota Alexandria, Mesir, yang berpemandangan indah menghadap Laut Mediterania beberapa waktu lampau.


    Banyak ibrah dari Luqman yang berjuluk sosok yang bijak, Luqmanul Hakim atau Luqman The Wise. Ada yang menarik ketika Luqman tengah berjalan-jalan ke pasar bersama anaknya. Luqman menunggangi keledai, anaknya berjalan di muka menuntun keledai. Orang-orang mulai bergunjing, “Kasihan tuh anak kecil, menuntun keledai, sementara bapaknya enak duduk di punggung keledai. Sombong amat orangtuanya.” Mendengar itu, Luqman berkata, “Anakku, dengar apa yang mereka ucapkan!” 


    Kemudian Luqman turun dari keledai. Sang anak diangkat ke punggung keledai. Kali ini Luqman menuntun keledai. Orang-orang kepo lagi, “Dasar anak nggak punya akhlak, orangtuanya disuruh jalan, menuntun keledai lagi.” Kembali Luqman berkata, “Anakku, dengar apa yang mereka katakan!” Sejurus kemudian, Luqman dan anaknya sama-sama menunggangi keledai. Orang-orang yang melihat tambah kesal. Mereka mengumpat bahwa anak dan bapak sama jahatnya, apa tidak kasihan sama keledai yang keberatan? “Dengar ya putraku!” pesan Luqman. 

    Akhirnya Luqman dan putranya turun dari keledai. Bapak-anak itu berjalan sambil menuntun keledai.  Orang-orang masih saja kepo, “Ah, dua orang itu bodoh sekali, ada keledai kok tidak dinaiki?” Luqman seperti sedang melakukan semacam social experiment. Setelah mengetahui reaksi dan komentar orang-orang, Luqman berkata pada anaknya, “Lakukan apa yang bermanfaat bagimu dan jangan kau hiraukan orang lain. Semoga kau bisa mengambil pelajaran dari perjalanan ini.” 

    Moral cerita bahwa kita harus bisa menakar kebenaran, sehingga kita dapat bersikap. Sekarang ini sering kali kebenaran hasil keroyokan. Maksudnya kebenaran ditakar karena banyak orang yang percaya. Istilahnya argumentum ad populum. Di politik banyak terjadi. Misal, banyak orang memilih dan memuja sosok X, jadi X selalu pasti benar. Padahal Kepala Propaganda Nazi Joseph Goebbels (1897-1945) paling jago dengan kebenaran palsunya. Menggunakan teknik propaganda yang diulang-ulang (ad nauseam).
 

    Kata Goebbels, sebarkan terus berita bohong berulang-ulang sampai orang menganggapnya sebagai berita benar. Itu juga yang dilakukan rezim George Bush Jr ketika menginvasi Irak dan menggulingkan Saddam Hussein dengan berita senjata pemusnah massal yang tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Jadi, di dunia dalam genggaman gawai sekarang, mesti ekstra bernalar, jangan sampai terjebak _logical fallacy_ alias sesat pikir. 


    Becermin pada fakta-fakta tersebut, hati dan lidah menjadi sumber penyakit. Dua organ tubuh manusia yang terbaik sekaligus terbusuk. Dalam sebuah riwayat Rasulullah berkata pada Mu’adz bin Jabal, “Maukah kuberitahu kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Mu’adz menjawab, “Iya, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun memegang lidahnya, seraya berkata, “Jagalah ini!” Mu’adz bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Rasulullah kembali bersabda, “Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?” (HR Tirmidzi).


     Karena itu, sewajibnya kita selalu merawat hati dan lisan agar tidak menjadi bagian yang membusuk. Nabi Ibrahim saja, sang kekasih Allah (Khalilullah) berdoa, “Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari saat mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta benda dan anak-anak tidak berguna lagi, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy-Syu’ara: 87-89). Rasanya tak ada daya lagi untuk mendongakkan kepala.