Jadikan Musuhmu Temanmu

Jadikan Musuhmu Temanmu

Oleh Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute


“Bagaimana mengalahkan musuhmu? Mudah,” kata Lexi M Budiman, “jadikan mereka temanmu.” Pernyataan ini, meski terdengar sederhana, menyimpan kekuatan luar biasa untuk meruntuhkan sekat-sekat yang membatasi manusia dalam bekerja sama demi kemajuan bersama. Dalam dunia yang penuh dengan perbedaan pandangan, terutama di panggung politik, nasihat ini menjadi obor penerang untuk membangun peradaban yang lebih tinggi.

Ketika seseorang telah menduduki jabatan publik, dia tidak lagi berdiri sebagai perwakilan kelompok, melainkan sebagai simbol pemersatu. Ia tidak lagi berbicara tentang lawan atau musuh, tetapi tentang mitra dan peluang. Kepentingan bangsa dan negara jauh lebih besar daripada perselisihan pribadi atau perbedaan pandangan politik. Dalam pekerjaan besar seperti memajukan kehidupan bangsa, keberhasilan tidak akan mungkin tercapai tanpa melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk mereka yang berbeda pendapat.

Lexi memahami bahwa harmoni tidak tercipta dari keseragaman, melainkan dari keberagaman yang bekerja dalam satu tujuan. Politik, jika dipahami dengan kebijaksanaan, adalah seni menyatukan kekuatan, bukan seni mengalahkan lawan. Seorang pemimpin sejati tidak mencari kemenangan atas musuh, tetapi kemenangan bersama bagi rakyatnya. Dengan mengubah lawan menjadi teman, kita tidak hanya menciptakan kedamaian, tetapi juga memperbesar peluang untuk bekerja sama.

Semangat kebersamaan ini menjadi landasan untuk membangun bangsa yang kokoh. Sejarah membuktikan, semua pencapaian besar lahir dari kerja kolektif. Dari pembangunan monumen bersejarah hingga gerakan kemerdekaan, semuanya terjadi karena semangat bersatu melampaui perbedaan. Dalam kebersamaan, setiap individu menjadi bagian penting dari puzzle besar yang disebut kemajuan.

Namun, perjalanan ini bukan tanpa tantangan. Mengubah pola pikir dari “kita” versus “mereka” menjadi “kita semua” membutuhkan kedewasaan, kebesaran hati, dan keberanian. Ini menuntut seorang pemimpin untuk melepaskan ego dan membuka pintu dialog. Dialog yang tulus, bukan sekadar basa-basi politik, adalah kunci untuk menyelesaikan perbedaan dan menemukan jalan tengah.

Kemajuan bangsa tidak dapat dipikul oleh satu kelompok saja. Tidak ada pemerintah yang mampu mencapai kejayaan tanpa dukungan dari rakyatnya, termasuk mereka yang tidak sejalan. Di sinilah esensi kebersamaan menjadi nyata. Ia mengajarkan kita untuk menghargai setiap suara, setiap gagasan, setiap kontribusi, karena semuanya adalah bagian dari satu kesatuan.

Maka, jika kita ingin maju sebagai bangsa, mari tinggalkan perseteruan yang tidak produktif. Jadikan tangan yang dulu saling menggenggam senjata menjadi tangan yang saling berjabat. Jadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan ancaman. Karena sejatinya, kemajuan tidak lahir dari persaingan yang membabi buta, tetapi dari kolaborasi yang tulus dan penuh keikhlasan.

Pernyataan Lexi, “jadikan musuhmu temanmu,” bukan hanya pesan bijak, tetapi panggilan untuk bertindak. Ia mengingatkan kita bahwa masa depan yang cerah hanya dapat tercapai jika kita melangkah bersama. Dan bersama, tidak ada yang mustahil untuk diraih.