ISIS/DAESH Bangkit Kembali di Irak dan Suriah
KABARINDO, JALAWLA – Hasil investigasi tim jurnalis Reuters menunjukkan bahwa hampir tiga tahun setelah ISIS/DAESH kehilangan kantong terakhirnya, mereka mulai muncul kembali sebagai ancaman mematikan, terdorong oleh kurangnya kontrol pusat di banyak daerah.
ISIS/DAESH kini tidaklah setangguh dulu, tetapi sel-sel militan mereka yang sering beroperasi secara independen telah bertahan di sebagian besar Irak utara dan timur laut Suriah, dan dalam beberapa bulan terakhir mereka telah meluncurkan serangan yang semakin berani.
Pada akhir Januari 2022, ISIS melakukan salah satu serangan paling mematikan terhadap tentara Irak setelah bertahun-tahun, menewaskan 11 tentara di sebuah kota dekat Jalawla.
Pada hari yang sama, dalam upaya untuk membebaskan narapidana yang setia kepada kelompok teroris tersebut, gerilyawannya menyerbu sebuah penjara di Suriah yang ada di bawah kendali milisi Kurdi yang didukung Amerika Serikat.
Sedikitnya 200 narapidana dan militan, 40 tentara Kurdi, 77 penjaga penjara, serta empat warga sipil tewas dalam serangan ke penjara itu, menjadikannya serangan terbesar sejak 2019, tahun dimulainya keruntuhan kekhalifahan yang dideklarasikan kelompok itu sendiri.
“Daesh (Negara Islam) tidak sekuat tahun 2014,” kata Jabar Yawar, seorang pejabat senior di pasukan Peshmerga di wilayah otonomi Kurdistan utara Irak. "Sumber dayanya terbatas dan tidak ada kepemimpinan bersama yang kuat," katanya kepada Reuters di kota Sulaimaniya. "Tapi selama perselisihan politik tidak diselesaikan, Daesh akan kembali."
Para pejabat dan penduduk di Irak utara dan Suriah timur banyak menyalahkan persaingan antara kelompok-kelompok bersenjata sebagai pemicu kebangkitan kembali ISIS/DAESH. Bila pasukan Irak, Suriah, Iran dan pimpinan AS dulu bersatu-padu menghabisi kelompok teroris itu bersama-sama, kini mereka malah berhadapan satu sama lain.
Milisi yang didukung Iran menyerang pasukan AS, sementara pasukan Turki mengebom militan separatis Kurdi. Belum lagi perselisihan teritorial yang bergemuruh antara Baghdad dan wilayah otonomi Kurdi di Irak.
Ketegangan tersebut merusak keamanan dan pemerintahan yang baik, memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok kecil sisa-sisa ISIS dan DAESH meneror kembali di wilayah tempat mereka sempat bersembunyi.
(Foto: Seorang anak perempuan melewati gedung yang hancur saat pertempuran melawan ISIS/DAESH di kota tua Mosul, Irak -Reuters)
Teror di Irak
Yousif Ibrahim, penduduk di Jalawla, timur laut Irak, tidak lagi berani keluar malam karena takut terjebak dalam serangan ISIS.
"Polisi dan tentara tidak ada lagi yang datang ke daerah kami. Jika mereka melakukannya, mereka akan ditembak oleh militan [ISIS]," kata pria berusia 25 tahun, yang menjual ikan untuk mencari nafkah di pasar terdekat.
Pejabat setempat meyakini, lahan pertanian terpencil di antara setiap pos militer adalah tempat gerilyawan ISIS bersembunyi, serta sepanjang koridor pegunungan dan gurun sepanjang 644km melalui Irak utara dan ke Suriah, tempat ISIS pernah mendominasi.
Mohammed Jabouri, seorang komandan tentara Irak di provinsi Salahuddin, mengatakan para militan cenderung beroperasi dalam kelompok yang terdiri dari 10-15 orang.
Karena kurangnya kesepakatan mengenai kontrol teritorial, ada daerah-daerah di mana baik tentara Irak maupun pasukan Kurdi tidak dapat masuk untuk mengejar mereka, tambahnya.
"Di situlah DAESH aktif," katanya kepada Reuters melalui telepon.
Pasukan paramiliter negara Irak yang bersekutu dengan Iran secara teori berkoordinasi dengan tentara Irak, tetapi beberapa pejabat lokal mengatakan itu tidak selalu terjadi.
"Masalahnya adalah komandan lokal, tentara dan paramiliter ... terkadang tidak mengakui otoritas satu sama lain," kata Ahmed Zargosh, walikota Saadia, sebuah kota di daerah yang disengketakan. "Itu berarti militan DAESH dapat beroperasi di celah-celah itu."
Zargosh tinggal di luar kota yang dia kelola, mengatakan dia takut dibunuh oleh militan ISIS/DAESH jika dia tinggal di sana pada malam hari.
(Foto: Anak-anak pelajar Yazidi pulang sekolah di Sinjar, Irak -Reuters)
Serangan ke Warga Suriah
Di Suriah, ISIS/DAESH mengambil keuntungan dari kebingungan beroperasi [tentara resmi] di daerah yang jarang penduduknya, menurut beberapa pejabat dan analis.
"Pasukan ISIS memasuki desa dan kota di malam hari dan memiliki kebebasan penuh untuk beroperasi, menyerbu makanan, mengintimidasi bisnis, dan memeras 'pajak' dari penduduk setempat," kata Charles Lister, seorang rekan senior di lembaga pemikir Middle East Institute.
"Mereka punya lebih banyak celah lokal, baik itu etnis, politik, sektarian, untuk dieksploitasi demi keuntungan mereka."
Pasukan pemerintah Suriah dan milisi yang didukung Iran menguasai wilayah di sebelah barat sungai Efrat dan pasukan Kurdi yang didukung AS ditempatkan di sebelah timurnya, termasuk di mana serangan penjara terjadi.
"Setelah serangan penjara Suriah, kami takut DAESH bisa kembali," kata Hussein Suleiman, seorang pekerja pemerintah di kota Sinjar Irak, wilayah pembantaian ribuan anggota minoritas Yazidi oleh kelompok teror itu saat berkuasa di sana tahun 2014.
"ISIS datang dari Suriah terakhir kali. Pasukan Irak dan pasukan Kurdi juga ada di sini saat itu, tetapi mereka melarikan diri."
Pada puncak kekuasaannya selama 2014-2017, ISIS/DAESH memengaruhi dan menguasai jutaan orang, serta mengaku bertanggung jawab atas atau mengilhami serangan di puluhan kota di seluruh dunia.
Pemimpinnya Abu Bakr al-Baghdadi mendeklarasikan kekhalifahannya atas seperempat Irak dan Suriah pada 2014 sebelum dia terbunuh dalam serangan oleh pasukan khusus AS di barat laut Suriah pada 2019 ketika kelompok itu runtuh. ***(Sumber dan foto: Reuters)
Comments ( 0 )