Wamenag Dorong Pesantren Lahirkan Generasi Berwawasan Luas dan Adaptif

Wamenag Dorong Pesantren Lahirkan Generasi Berwawasan Luas dan Adaptif

KABARINDO, JAKARTA - Wakil Menteri Agama Romo Muhammad Syafi’i menyebut pesantren telah menjadi pusat gerakan moral bangsa, namun di tengah perubahan zaman pesantren kini memikul mandat ganda yakni menjaga tradisi keilmuan Islam sekaligus melahirkan generasi yang adaptif.

“Memandang pesantren berarti memandang Indonesia. Pesantren bukan hanya akar sejarah, tetapi juga pintu masa depan. Santri tidak boleh berhenti pada fiqh saja, mereka harus merambah teknologi, ilmu kedokteran, ekonomi, dan seluruh cabang pengetahuan modern,” kata Romo Syafi’i dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Pernyataan tersebut disampaikan Wamenag dalam Halaqah Penguatan Kelembagaan Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren Kementerian Agama RI yang digelar di Auditorium Lantai 4 Gedung Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang, Kampus Jakabaring.

UIN Raden Fatah menjadi tuan rumah bagi forum strategis yang mempertemukan pemangku kebijakan nasional dan para pimpinan pesantren dari berbagai daerah.

Rektor UIN Raden Fatah Palembang Muhammad Adil menekankan bahwa pesantren merupakan lembaga yang paling konsisten menjalankan tiga amanah besar dalam Undang-Undang Pesantren.

Tradisi penguasaan kitab kuning menjadi fondasi epistemologis yang memungkinkan pesantren melakukan sintesis kreatif antara nilai klasik dengan dinamika pengetahuan modern.

“Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi sebuah tradisi intelektual yang panjang. Konsistensi dalam mengaji kitab kuning justru menjadi modal besar untuk mengembangkan gagasan Intelektualisasi Santri,” ujar Rektor.

Sementara itu, Pimpinan Pondok Pesantren Muhajirin, Prof. Muhajirin, menegaskan pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Nusantara yang telah melahirkan ulama, intelektual, dan pejuang bangsa. Namun secara regulatif, pesantren baru memperoleh pengakuan terbatas.

Ia menyoroti perlunya regulasi yang setara dengan pendidikan negeri, status dan sertifikasi guru pesantren, arah kelembagaan yang jelas dan tidak “liar”, serta manajemen pendidikan terapan yang modern.

“Pesantren modern harus berbasis iman, kuat dalam disiplin ilmu, relevan dengan perkembangan zaman, tidak tabu pada teknologi, dan memiliki pembinaan reflektif bagi santri,” kata dia.

Senada dengan Muhajirin, Pengasuh Ponpes Sabilul Hasanah, Ubaidillah Luai menekankan bahwa kitab kuning tidak hanya warisan intelektual, tetapi juga “tulang punggung” kurikulum pesantren.

Ia menggarisbawahi dua agenda besar yaitu revitalisasi tradisi klasik yang relevan, dan pembaharuan untuk menjawab isu kontemporer seperti ekonomi, pendidikan, dan teknologi.

Ubaidillah memetakan tantangan nyata pesantren, mulai dari kompetensi bahasa Arab, metode pembelajaran yang konvensional, keterbatasan guru ahli, hingga minimnya integrasi teknologi.

Solusi yang ia tawarkan antara lain perlunya penguatan metode sorogan-bandongan modern, pelatihan guru, digitalisasi kitab, kurikulum integratif, dan pembentukan kultur akademik santri.