Tom Lembong dan Keadilan yang Terperangkap di Pasal Usang

Tom Lembong dan Keadilan yang Terperangkap di Pasal Usang
Tom Lembong dan Keadilan yang Terperangkap di Pasal Usang

Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi

Direktur Dehills Institute

 

Saya bukan ahli hukum, tapi saya mencoba menulis hal ini berdasarkan logika yang sederhana—dan keberanian untuk bertanya: apakah keadilan masih hidup di balik undang-undang yang kaku?

 

Vonis 4 tahun 6 bulan terhadap Thomas Trikasih Lembong mengguncang opini publik. Banyak yang menyebut ini sebagai kriminalisasi oposisi atau pembungkaman terhadap tim sukses capres yang kalah. Namun, di balik semua itu, ada satu akar persoalan yang lebih krusial dan sistemik: cacat konstruksi hukum dalam Undang-Undang Tipikor, khususnya Pasal 2 dan 3.

 

Kacamata Kuda Hukum

 

Pasal 2 dan 3 UU Tipikor adalah delik formil, bukan delik materil. Artinya, seseorang dapat dihukum karena dianggap melanggar prosedur atau “menyalahgunakan kewenangan,” meskipun tidak ada niat jahat (mens rea) atau tidak terbukti menikmati hasil kejahatan. Dalam logika delik ini, motif dan akibat bisa diabaikan. Dan itu berbahaya.

 

Prof. Romli Atmasasmita, salah satu arsitek awal UU Tipikor, pernah mengingatkan:

 

“Penerapan pasal-pasal ini berpotensi menjadi alat kriminalisasi kebijakan publik. Dalam banyak kasus, aparat lebih fokus pada prosedur daripada substansi keadilan.”

(Kompas, 2021)

 

Prof. Jimly Asshiddiqie juga menegaskan:

 

“Banyak pejabat dihukum bukan karena korupsi dalam pengertian mencuri uang negara, tetapi karena dianggap melakukan prosedur yang salah. Padahal niat jahat adalah inti kejahatan.”

(Jurnal Hukum, 2022)

 

Dengan konstruksi seperti ini, seseorang bisa dihukum hanya karena tanda tangan atau sikap pasifnya dianggap sebagai “pembiaran.” Dan inilah tragedi yang berulang.

 

Kasus Lama yang Tak Kalah Penting: Andi Mallarangeng

 

Tom Lembong bukan yang pertama. Jauh sebelumnya, publik menyaksikan bagaimana Dr. Andi Alfian Mallarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga kala itu, dijatuhi hukuman penjara dalam kasus Hambalang. Padahal dalam dokumen pengadilan, tidak terbukti ia menerima sepeser pun uang proyek tersebut. Namun, ia tetap divonis karena dianggap “membiarkan” penyimpangan prosedural oleh bawahannya.

 

Semua orang yang mengenal sosok Andi tahu: ia seorang intelektual yang menjaga marwah, bersih secara pribadi, dan setia menjaga nama baik pemerintahan SBY saat itu. Namun hukum tak memedulikan karakter.

 

Prof. Eddy O.S. Hiariej, pakar hukum pidana, menyebut:

 

“Andi dijatuhi hukuman bukan karena memperkaya diri, tetapi karena dianggap sebagai penanggung jawab yang lalai. Ini adalah bentuk penafsiran hukum yang sangat longgar terhadap unsur ‘penyalahgunaan kewenangan’.”

 

Di titik inilah muncul pertanyaan etis: apakah pembiaran karena tidak tahu bisa disamakan dengan pembiaran karena tahu? Syariah dan keadaban hukum tentu membedakan. Tapi dalam tafsir pasal yang dingin, keduanya dianggap sama. Inilah bahaya delik formil: ia menghukum seseorang atas bayangan, bukan atas niat dan akibat.

 

Undang-Undang yang Lahir dari Kemarahan

 

Kita perlu memahami suasana kebatinan tahun 1999, saat UU Tipikor dirancang. Saat itu, bangsa baru saja bangkit dari trauma Orde Baru. Korupsi adalah musuh bersama. Maka semangat “membersihkan” lebih besar dari semangat “menimbang.” Dalam konteks itu, niat jahat dianggap tidak perlu dibuktikan.

 

Namun seperti semua produk dari kemarahan kolektif, jika tidak dikoreksi, hukum akan menjadi senjata buta. Ia tak lagi membedakan antara perampok dan pejabat yang salah prosedur. Ia hanya menghukum. Titik.

 

Dr. Zainal Arifin Mochtar dari UGM menyentuh persoalan ini:

 

“Delik formil seharusnya bersifat pengecualian, bukan aturan umum. Ketika semua hal ditarik ke ranah formil, hukum kehilangan daya seleksi moralnya.”

 

Bukan Kasus Pertama, Hanya yang Paling Viral

 

Sebelum Tom, banyak korban delik formil yang sunyi dari perhatian. Bedanya: mereka bukan figur publik, bukan mantan pejabat tinggi, bukan timses capres. Tapi penderitaan mereka sama: dihukum tanpa niat jahat, hanya karena prosedur dianggap salah.

 

Ironisnya, ketika korbannya adalah orang populer, barulah keadilan dijadikan topik. Saat rakyat biasa dihukum dengan pasal yang sama, kita semua diam.

 

Saatnya Mengoreksi, Bukan Membela Buta

 

Wacana revisi Pasal 2 dan 3 UU Tipikor sebenarnya sudah lama digaungkan para akademisi. Tapi setiap kali wacana itu muncul, mereka dituduh “anti-KPK” atau “pendukung koruptor.” Padahal justru memperbaiki hukum yang bias adalah inti dari pemberantasan korupsi yang beradab dan berkeadilan.

 

Hukum tidak boleh keras membabi buta. Ia harus adil, proporsional, dan bermoral.

 

Hukum yang Adil, Bukan Sekadar Hukum yang Keras

 

Kasus Tom Lembong seharusnya tak berhenti sebagai drama simpati, melainkan menjadi momen evaluasi total terhadap sistem hukum kita. Kita tak boleh terus membiarkan delik formil menjadi jaring buram yang menangkap siapa saja tanpa memperhitungkan niat dan akibat.

 

Keadilan bukan soal siapa yang dihukum. Tapi bagaimana dan atas dasar apa seseorang dihukum. Jika hukum terus menolak mens rea, maka siapa pun bisa jadi terdakwa—tanpa niat, tanpa keuntungan, bahkan tanpa tahu bahwa dirinya sedang dinilai “korup.”

 

Dan ketika itu terjadi, barulah kita sadar:

yang paling berbahaya bukan hanya pelaku korupsi, tapi hukum yang lupa pada akal, hati, dan rasa keadilan.