The Devil’s President
Oleh: Noor Cholis
Aktivis dan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB)
KABARINDO, JAKARTA - Dalam beberapa hari terakhir, publik memberi penilaian yang begitu buruk kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial dan masuknya nama Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pilpres sebagai Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto, dinilai sebagai cawe-cawe Presiden. Publik dan para pakar pun berargumen, Indonesia sedang terjebak dalam kubangan dinasti, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Ironisnya, Presiden dengan santai menjawab: “Ini bukan Dinasti, namun Kontestasi”. Demikian juga dengan para pendukung Prabowo-Gibran yang malah meminta para pengkritik untuk “bercermin” dan mengatakan bahwa saat ini dimana mana ada dinasti. Di Partai Politik, Pilkada dan lain lain.
Di dalam Undang Undang dan Tap MPR memang tidak secara spesifik menyebut Dinasti. Namun, di dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; semuanya telah diatur dan didefinisikan.
Perilaku KKN Penyelenggara Negara yang didalamnya terdapat pelibatan kroni dan keluarganya itulah yang dapat kita sebut sebagai Dinasti. Di luar Penyelenggara Negara (Parpol, Ormas dan lain lain, mengikuti UU dan Peraturan yang terpisah).
TAP MPR RI XI/1998 menjelaskan;
Pasal 3
(1) Untuk menghindarkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
(2) Pemeriksaan atas kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara yang keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyarakat.
(3) Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi.
Pasal 4
Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglemerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia.
Sementara di dalam Undang Undang No. 28 tahun 1999 tersebut sebagai berikut:
Pasal 1
2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi.
4. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum
antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pasal 5
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
Pasal 20
(1) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5, atau 6 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang
melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Pasal 22
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang
melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Presiden Joko Widodo sebagai Penyelenggara Negara dalam Pemilu 2024, bersinggungan dalam konflik kepentingan. Di antaranya;
1. Kaesang, Putra Bungsu Presiden Joko Widodo menjadi Ketua Partai Solidaritas Indonesia/PSI yang akan mengikuti Pemilu Legislatif 2024; yang partainya sudah mendeklarasilakan mengusung Prabowo/Gibran sebagai Capres/Cawapres.
2. Mahkamah Konsitusi/MK dengan Ketua adalah Anwar Usman yang notabene adalah Kakak Ipar dari Presiden Joko Widodo telah memutuskan sebuah KEPUTUSAN KONTROVERSIAL pada 16 Oktober 2024, yang memberikan hanya kepada Gibran (Walikota Solo), Putra Sulung Presiden Joko Widodo/Keponakan Ketua MK, yang akan dapat kesempatan maju menjadi Calon Presiden/Wakil Presiden;
3. Gibran, Putra Sulung Presiden Joko Widodo pada Senin, 23 Oktober 2024, setelah Putusan MK, menjadi Calon Wakil Presiden yang akan mengikuti Pemilu Presiden 2024;
4. Partai Solidaritas Indonesia/PSI dimana Ketua Umumnya adalah Kaesang (Putra Bungsu Presiden dan Adik dari Gibran) telah menjadi bagian dari Koalisi Partai yang mengusung Pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Gibran.
Point 1-3 adalah indikasi kuat telah terjadi Konflik Kepentingan Keluarga Presiden Joko Widodo terhadap Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang akan dilaksanakan serentak pada 2024.
Konflik Kepentingan ini bisa membuat Pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo tidak bisa Independen dan akan cenderung berpihak berdasarkan peristiwa dan fakta fakta yang sudah dan sedang terjadi.
Ketidakmampuan Pemerintahan Presiden Jokowi untuk Independen akan mengancam proses dan hasil Pemilu 2024, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden.
Oleh karena itu Presiden Joko Widodo tidak dapat berada dalam ruang dan waktu sebagai Penyelenggara Negara selama Pileg dan Pilpres 2024 berlangsung, karena berpotensi melanggar TAP MPR XI/1998 dan UU No.28/1999. Presiden Joko Widodo dapat *Cuti selama proses Pileg dan Pilpres 2024 berlangsung* atau mundur dari jabatan Presiden RI untuk seterusnya karena keterlibatanya dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dalam dunia hukum, kita mengenal sebuah istilah Devil’s advocate, yakni seseorang yang mengambil posisi berlawanan dengan argumen orang lain, bukan karena tak setuju dengan argumen itu, melainkan hanya ingin menguji keabsahan atau validitas argumen tersebut.
‘Permainan’ devil’s advocate ini biasa digunakan oleh para advokat untuk menguji argumen hukum yang dibuatnya. Sebelum berlaga ke pengadilan, advokat lain mencoba mengkritisi argumen atau berpandangan skeptis demi tujuan mencari kelemahan atau celah argumen itu. Sehingga, argumen hukum itu bisa diperbaiki sebelum disajikan di ruang pengadilan. Ternyata di ruang sidang Mahkamah Konstitusi hal ini pun terjadi.
Terlintas dalam pikiran, bagaimana dengan sikap Presiden yang menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan kroni dan keluarganya dan/atau menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya adalah melanggar Konstitusi. Apakah dia sedang melakukan permainan devil’s advocat? Atau mungkin akan lebih pas kita bikin istilah baru saja dengan sebutan The Devil’s President*.
Comments ( 0 )