Sistem Pantau Wajah, Ancaman untuk Privasi?
KABARINDO, TANGERANG - Pembaruan teknologi untuk kemudahan hidup tidak hanya terus berkembang untuk keperluan individual, melainkan juga untuk keperluan sosial dan negara. Di antara semua teknologi yang digunakan negara-negara maju, salah satu yang dianggap kontroversial adalah teknologi kecerdasan buatan pengenalan wajah.
Tahun lalu, Kepolisian South Wales telah dinyatakan melanggar hukum oleh pengadilan banding Inggris karena mereka tidak memiliki panduan yang jelas tentang di mana Automatic Facial Recognition (AFR) dapat digunakan dan siapa yang dapat dimasukkan dalam daftar pantauan. Pengadilan juga berpendapat, penilaian dampak perlindungan data tidak memadai dan anggota kepolisian tidak mengambil langkah yang wajar untuk mengetahui apakah perangkat lunak tersebut memiliki bias rasial atau gender.
Kelompok hak-hak sipil Liberty dan Ed Bridges dari Cardiff, yang mengajukan tuntutan hukum itu, menyatakan teknologi pengenalan wajah adalah alat pengawasan massal yang mengganggu dan diskriminatif. Wajah Bridges dipindai saat dia berbelanja Natal di Cardiff pada 2017 dan pada protes anti-senjata yang damai di luar Motorpoint Arena kota pada 2018, kemudian data biometriknya dianalisis tanpa sepengetahuan atau persetujuannya.
Ia mengajukan tuntutan itu karena menurutnya ‘teknologi diskriminatif’ seperti ini harus dilarang ‘selamanya’.
Teknologi ini juga menimbulkan pertanyaan bias rasial dan potensi tuduhan palsu terhadap orang yang tidak bersalah. Pada bulan Desember 2020, dua pria kulit hitam mengajukan gugatan terhadap polisi di Michigan, dengan mengatakan bahwa mereka salah diidentifikasi oleh teknologi pengenalan wajah—khususnya, perangkat lunak pengenalan wajah DataWorks Plus yang digunakan oleh Kepolisian Negara Bagian Michigan.
Semua pengawasan publik dan tekanan hukum ini menginspirasi penegak hukum untuk mengubah arah dalam menemukan manfaat dalam menggunakan pengenalan wajah dalam aktivitas mereka. Departemen Kepolisian Los Angeles melarang platform pengenalan wajah Clearview AI setelah personelnya terungkap telah menggunakan database, dengan alasan masalah privasi dan di bawah tekanan dari ACLU dan kelompok lain.
Untuk Pantau Persebaran COVID
Pemerintah di seluruh dunia telah beralih ke teknologi baru dan memperluas kekuatan hukum untuk mencoba membendung gelombang infeksi COVID-19.
China, Rusia, India, Polandia dan Jepang serta beberapa negara bagian AS termasuk di antara pemerintah yang telah meluncurkan atau setidaknya bereksperimen dengan sistem pengenalan wajah untuk melacak pasien COVID-19, menurut laporan bulan Maret oleh Columbia Law School di New York. .
Baca juga: Korsel Luncurkan Program Pengenalan Wajah untuk Lacak Penderita...
Bulan Januari 2022, Bucheon, sebuah kota di Korsel akan memulai sistem pelacakan persebaran COVID-19 menggunakan teknologi serupa.
Meskipun ada dukungan publik yang luas untuk metode pelacakan dan penelusuran invasif yang ada, para pembela hak asasi manusia dan beberapa anggota parlemen Korea Selatan telah menyatakan keprihatinannya bahwa pemerintah akan menyimpan dan memanfaatkan data tersebut jauh melampaui kebutuhan pandemi.
“Rencana pemerintah untuk menjadi Big Brother dengan dalih COVID adalah ide neo-totaliter,” kata Park Dae-chul, seorang anggota parlemen dari oposisi utama People Power Party.
"Benar-benar salah untuk memantau dan mengontrol publik melalui CCTV menggunakan uang pembayar pajak dan tanpa persetujuan dari publik," kata Park, yang memberikan kabar rencana kota itu kepada Reuters.
Dianggap Sah dan Bermanfaat
Namun demikian, Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KDCA) mengatakan penggunaan teknologi tersebut sah selama digunakan dalam bidang hukum pengendalian dan pencegahan penyakit.
Rencana menyeluruh penggunaan pengenalan wajah bertenaga AI datang ketika negara itu bereksperimen dengan penggunaan lain dari teknologi kontroversial, mulai dari mendeteksi pelecehan anak di penitipan anak hingga memberikan perlindungan polisi.
Di tahun 2018, kepolisian China berhasil menangkap seorang tersangka kriminal di tengah-tengah 60.000 pengunjung konser dengan bantuan teknologi ini.
Meskipun di Indonesia belum ada tuntutan hukum atau keluhan resmi yang diajukan terkait teknologi ini, sepertinya pihak berwenang harus mempertimbangkan lebih matang lagi sebelum berniat meluncurkan program seperti di Buchen, betapapun besarnya manfaat yang bisa didapat. (Sumber: BBC, Reuters, Japan Times, Internet Sehat; Foto: ThreatPost)
Comments ( 0 )