Menkeu Sri Mulyani Perkirakan Defisit APBN 2021 Lebih Rendah dari Target 5,7 Persen
KABARINDO, JAKARTA - Jelang pergantian tahun pembahasan terkait evaluasi penggunaan APBN turut menjadi perhatian sosok Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia memperkirakan defisit APBN selama tahun 2021 berada di antara 5,1 hingga 5,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut jauh lebih rendah dari target APBN 2021, yakni 5,7 persen dari PDB.
“Tahun ini, anggaran dirancang dengan defisit 5,7 persen. Tetapi karena pemulihan yang kuat serta dari pendapatan dan ledakan komoditas, kami memperkirakan defisit akan antara 5,1 hingga 5,4 persen, jauh lebih rendah dari yang kami rancang sebelumnya,” kata Menkeu secara daring dalam the e-launch of the World Bank Indonesia Economic Prospects Report, Kamis (16/12).
Sementara itu, Sri Mulyani juga mulai memerkirakan defisit APBN untuk tahun 2022, Menkeu mengatakan bahwa defisit tahun depandirancang pada level 4,8 persen dari PDB.
Namun, angka tersebut belum mempertimbangkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang berpotensi memberikan tambahan penerimaan dan program pemulihan ekonomi tahun 2021 yang berdampak positif di berbagai sektor.
“Namun, desain ini belum memperhitungkan beberapa reformasi di bidang perpajakan dan sisi fiskal,” ujar Menkeu.
Baca Juga: Soal Kenaikan Cukai Hasil Tembakau, Sri Mulyani Beberkan Alasannya
Baca Juga: Sosialisasikan UU HPP, Sri Mulyani Sebut Pajak Penting untuk Menciptakan Keadilan
Dengan desain tersebut, pemerintah akan terus bekerja makin baik untuk memulihkan ekonomi Indonesia pada tahun 2022. Menkeu meyakini peran kebijakan fiskal masih sangat penting, terutama di masa pandemi Covid-19. APBN tahun 2022 akan mendukung proses pemulihan dengan memprioritaskan belanja untuk pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), pendidikan, kesehatan, dan belanja sosial.
“Mudah-mudahan, tingkat pertumbuhan akan pulih di atas 5 persen. Dalam APBN 2022, kami menempatkan 5,2 persen untuk pertumbuhan ekonomi hingga 2022,” kata Menkeu.
Sebelumnya, Sri Mulyani juga mengutarakan sikap optimisme terhadap penegakan UU HPP dalam acara Sosialisasi Undang-undang tersebut di Aula Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Selasa (14/12).
“Kita ingin mendesain pajak yang netral, yang efisien, yang fleksibel, yang menjaga stabilitas, yang adil (karena pajak adalah bagian yang tidak hanya untuk stabilitas tapi juga menciptakan keadilan, yang lemah tidak dipungut pajak bahkan dibantu, yang punya kemampuan membayar sesuai kemampuan untuk membayar kewajiban perpajakannya), dan tentu reformasi pajak harus memberikan kepastian dan kesederhanaan,” jelas Menkeu seperti yang dikutip dari rilis.
Langkah reformasi yang diambil adalah dengan melakukan penguatan administrasi perpajakan (KUP), program pengungkapan sukarela wajib pajak (PPS), serta perluasan basis perpajakan yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan melalui perbaikan kebijakan dalam PPh, PPN, Cukai dan pengenalan pajak karbon.
Dalam UU HPP, pemerintah mengeluarkan kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), yang diberlakukan mulai 1 Januari s.d. 30 Juni 2022. Program ini memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela.
Guna mendukung APBN berkelanjutan yang ramah lingkungan, UU HPP juga menerapkan skema pajak karbon yang ditujukan untuk mengendalikan peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer yang dapat menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi.
Hal ini juga selaras dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030 sesuai dengan konvensi perubahan iklim (Paris Agreement) yang sudah disepakati dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
“Saya tahu semua stakeholder pasti ingin keinginannya masuk di dalam peraturan ini. Namun karena kita hidup dalam mengelola Indonesia yang begitu bhinneka, maka kita perlu untuk membangun sebuah rezim pajak yang bisa merefleksikan kebutuhan yang begitu beragam. Azas dan tujuannya adalah keadilan, kesederhanaan, efisiensi, adanya kepastian hukum, asas manfaat, dan azas kepentingan nasional. Yang kita perjuangkan ini kepentingan nasional,” tegas Menkeu.
UU HPP adalah hasil kolaborasi seluruh pemangku kepentingan. Dalam proses pembahasan maupun penyusunan aturan pelaksananya akan dilakukan dengan mengedepankan kepentingan masyarakat dan pembangunan nasional, serta mendengarkan masukan dan aspirasi berbagai pihak agar setiap rupiah pajak yang dibayarkan dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Kami sampaikan terima kasih DPR telah menyerap banyak sekali aspirasi dari masyarakat dan seluruh stakeholder, dan kami dari Pemerintah mencoba untuk menjaga agar reformasi perpajakan ini betul-betul mencerminkan azas keadilan, kemampuan kita untuk mengumpulkan penerimaan pajak yang kuat tapi simple, regulasinya sederhana, dan juga menjaga kepentingan perekonomian Indonesia hari ini dan kedepan,” tegas Menkeu.
Sumber: Kemenkeu
Foto: Kemenkeu
Comments ( 0 )