Krisis Ekonomi, Sri Lanka Alami Pemadaman Listrik Berkepanjangan
KABARINDO, KOLOMBO – Sri Lanka menghadapi pemadaman listrik 10 jam pada Rabu (30/3), yang disertai peringatan pemadaman 13 jam untuk hari Kamis (31/3), karena didera krisis ekonomi yang memburuk.
Krisis ekonomi mendalam mengguncang pasar dan regulator listrik di negara itu, dan menyebabkan lebih dari satu juta pegawai pemerintah harus bekerja dari rumah untuk menyelamatkan pasokan bahan bakar.
"Kami mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk mengizinkan sektor publik, yaitu sekitar 1,3 juta karyawan, untuk bekerja dari rumah selama dua hari ke depan sehingga kami dapat mengelola kekurangan bahan bakar dan listrik dengan lebih baik," Janaka Ratnayake, Ketua Umum Utilitas Komisi Sri Lanka, mengatakan kepada Reuters.
Negara kepulauan itu tidak mampu membayar pengiriman bahan bakar akibat kekurangan devisa. Pemerintah Sri Lanka menyatakan telah siap untuk mencari bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Di tengah krisis ekonomi terburuk negara itu dalam beberapa dekade, cadangan devisa telah turun 70% dalam dua tahun terakhir menjadi $2,31 miliar pada Februari lalu, membuat Sri Lanka berjuang untuk mengimpor kebutuhan pokok, termasuk makanan dan bahan bakar.
Pemadaman listrik berlarut-larut pada hari Rabu itu sebagian disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah untuk membayar $52 juta untuk pengiriman diesel 37.000 ton yang sedang menunggu pembongkaran, kata Ratnayake.
"Kami tidak memiliki valas untuk dibayar," katanya, memperingatkan lebih banyak pemadaman listrik selama dua hari ke depan. "Itulah kenyataannya."
Harpo Gooneratne, seorang pemilik restoran di kota utama Sri Lanka, Kolombo, mengatakan bahwa meskipun beberapa dari 10 restorannya memiliki generator sendiri, kekurangan solar membuatnya sulit menjalankan bisnisnya selama pemadaman listrik. "Ini gila," katanya.
Pemutusan listrik yang memburuk akan memukul bisnis yang sudah berjuang, terutama eksportir yang telah mengunci pesanan dan kapasitas terbatas untuk menyerap kenaikan biaya, kata Dhananath Fernando, seorang analis di lembaga think tank Advocata Institute Kolombo.
"Hal ini lebih lanjut akan merugikan pertumbuhan Sri Lanka dan mengancam pendapatan devisa yang sangat penting untuk meningkatkan cadangan, membayar utang dan membayar impor penting," kata Fernando.
***(Sumber dan foto: Reuters)
Comments ( 0 )