Hoaks, The Silent Killer
Oleh: M. Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate
Sekitar tahun 627, Kota Madinah geger. Kasak-kasak berseliweran. Para penggosip asyik memanjang-manjangkan mulutnya. Mereka berbisik-bisik dan bergunjing (ghibah). Dari satu rumah berpindah ke rumah lain. Kota penuh desas-desus. Banyak orang yang kepo. Sampai seisi kota viral: Aisyah, istri Nabi Muhammad, telah berselingkuh. Penduduk Madinah saling lirik. Benarkah kabar itu? Aisyah mengkhianati nabi? Pantaskah istri nabi berbuat munkar? Kabar telah menyebar bak anak panah dilepaskan dari busurnya. Menusuk begitu tajam, menembus jantung.
Ketika kabar itu menyebar, Aisyah sedang sakit. Barangkali kelelahan seusai mendampingi nabi ke medan perang menghadapi Bani Musthaliq, yang menggerakkan suku-suku Arab untuk melawan nabi. Kira-kira sebulan lamanya Aisyah terbaring sakit. Tak keluar rumah sehingga terputus dari kabar yang beredar di tetangga. Ia baru tahu belakangan gosip tentang dirinya itu. Pantas, Aisyah pun merasa nabi agak beda. “Saya merasakan sewaktu saya sakit, saya tiada melihat kesayangan nabi sebagaimana biasa saya lihat kalau saya sakit. Hanya waktu beliau masuk, beliau memberi salam kemudian bertanya, bagaimana keadaanmu?” kata Aisyah (HR. Bukhari 1238).
Gosip perselingkuhan Aisyah tersebar saat kaum Muslim baru pulang dari medan perang tersebut. Dalam perjalanan, ketika kaum pria menunggangi atau menuntun unta, kaum perempuan ditempatkan di dalam tandu-tandu (sekedup) di atas punuk unta. Di sebuah tempat pemberhentian mendekati Madinah, setelah beristirahat Aisyah bergegas kembali ke tandu untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi baru disadari, kalung yang melingkar di lehernya tidak ada. Padahal rombongan sudah siap-siap berangkat.
Buru-buru Aisyah balik ke rute langkah yang dilewatinya tadi. Ia mencari-cari kalungnya. Beruntung, kalung ditemukan. Cepat-cepat pula ia kembali ke rombongannya. Sayangnya, rombongan sudah bergerak. Rupanya pembawa unta mengira Aisyah sudah berada di dalam tandunya. Aisyah pun memanggil-manggil tapi tak ada yang mendengar. Berusaha mengejar tapi malah kelelahan. Terduduk dan terkantuk-kantuk sampai Aisyah tertidur di tepi jalan.
Menjelang subuh Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sullami Adz-Dzakwani, yang tertinggal dari rombongan, melewati jalan itu. Ia melihat ada satu sosok yang sedang tidur. Ketika ia tahu Aisyah, Shafwan hanya berucap, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, bacaan istirja saat melihat ada musibah atau bencana. Istri nabi tertinggal sendirian di jalan adalah sebuah musibah. Akhirnya Shafwan memberikan untanya untuk ditunggangi Aisyah, sementara ia menuntunnya. Sepanjang perjalanan tak ada obrolan di antara keduanya.
Tetapi peristiwa itu diembuskan bahwa Aisyah telah berselingkuh dengan Shafwan. Begitu mendengar kabar itu, Aisyah menangis bercucuran air mata sampai dua hari. Sakitnya pun bertambah parah. Nabi menahan diri. Tidak membantah dan tidak membenarkan kabar itu. Nabi menunggu petunjuk dari Allah. Senyampang menanti wahyu, nabi meminta saran sahabat-sahabatnya, yaitu Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid, kemudian Barirah. Tetapi mereka semua hampir tak percaya dengan kabar itu.
Usut punya usut ternyata itu hadits ifki (berita bohong). Zaman sekarang namanya hoaks. Pertama kali diembuskan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, dedengkot kelompok munafik. Orang ini pernah digadang-gadang sebagai kandidat penguasa Madinah, tapi buyar setelah nabi berhijrah ke Madinah. Hoaks itu kemudian diviralkan oleh Misthah bin Utsathah, Hassan bin Tsabit, Hamnah binti Jahsy.
Terhadap hoaks itu, Allah memberi klarifikasi, "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah kelompok di antara kamu (juga). Janganlah kamu mengira bahwa peristiwa itu buruk bagimu, sebaliknya itu baik bagimu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Adapun orang yang mengambil peran besar di antara mereka, dia mendapat azab yang sangat berat" (QS. An-Nur: 11).
Aisyah adalah korban hoaks. Aisyah pun terguncang. Aisyah sempat mengungsi ke rumah orangtuanya, Abu Bakar. Kita paham betapa hoaks itu sangat destruktif. Karena itu, menghadapi hoaks yang semakin gencar di era media sosial, pentingnya melakukan konfirmasi, klarifikasi, tabayyun. Jangan hanya karena dunia berada di genggaman jari-jemari, menjadi begitu gampangnya mem-forward berita yang belum jelas juntrungannya. Kabar angin akan semakin menyebar diterpa angin. Maka, saring dulu sebelum sharing atau posting.
Melakukan klarifikasi atau bertabayun menjadi prasyarat wajib bila mendapat informasi yang belum akurat dan valid. Allah berfirman, "Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang fasik datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian (QS. Al-Hujurât: 6).
Ayat tersebut juga terkait hoaks. Kala itu nabi mendapat kabar dari Al-Walid bin Uqbah, bahwa Al-Harits yang telah beriman, tidak mau menyerahkan zakat kaumnya. Al-Walid adalah orang yang diutus nabi untuk mengambil zakat yang telah dikumpulkan Al-Harits. Di perjalanan Al-Walid mungkin merasa gentar menghadapi Al-Harits, ia pun balik kanan. Jadi Al-Walid belum bertemu apalagi bicara dengan Al-Harits. Tetapi, begitu balik, kepada nabi, malah ngarang cerita sendiri. Nabi pun mengirim utusan lagi untuk memastikan hal itu. Di tengah perjalanan utusan itu bertemu Al-Harits yang sedang menuju ke tempat nabi untuk menyerahkan zakat kaumnya.
Jadi, dengan ayat itu, sejak kelahirannya sesungguhnya Islam sudah punya prosedur sekaligus senjata untuk menangkal hoaks. Persoalannya, seberapa patuh umatnya mengikuti ajaran itu? Jangan sampai kita mengalami “Efek Dunning-Kruger”. Temuan David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University tahun 1999 ini adalah kondisi psikologi ketika seseorang tidak mampu menyadari kekurangan dirinya atau merasa sok tahu. Jadi, makin bodoh makin merasa yakin bahwa dirinya tidak bodoh.
Di abad informasi digital (Digital Age) sekarang ini, hoaks menemukan lahan suburnya. Begitu tersemai, ia akan bertunas dan bercabang cepat dan masif. Data Kementerian Komunikasi dan Digital, sepanjang tahun 2024 tercatat ada 1.923 konten hoaks. Sebelumnya, dalam periode Agustus 2018 hingga Juni 2023, ada 11.759 berita palsu dan konten hoaks.
Kalau soal internet, secara kuantitas, orang Indonesia memang terdepan. Data We are Social (2024), pengguna internet di Indonesia mencapai 353,5 juta orang (126,8 persen populasi) dan pengguna media sosial 139 juta (49,9 persen populasi). Penggunaan handphone teratas di dunia mencapai 98,9 persen. Browsing internet di handphone rata-rata 4 jam 45 menit per hari (peringkat ke-8). Orang Jepang cuma menghabiskan 1 jam 54 menit per hari. Share harian Indonesia di peringkat ke-3 (62,2 persen lewat handphone dan 37,8 persen lewat komputer).
Karena itu, penting dicermati adanya paradoks-paradoks “abad Informasi”. Kita paham ada misinformasi, disinformasi, bahkan malinformasi. Misinformasi adalah jenis informasi yang salah tapi orang percaya informasi itu benar sehingga disebarluaskan. Di sini pentingnya literasi. Disinformasi adalah informasi yang tidak benar tapi sengaja disebarkan. Disinformasi dirancang untuk memutarbalikkan fakta, membentuk opini, atau motif lain. Adapun malinformasi adalah informasi yang benar tapi disebarkan untuk merugikan orang lain, sering kali disebut black campaign. Kita sudah merasakan dampak hoaks, berpuncak di arena politik. Tom Nichols, penulis buku The Death of Expertise (2017), berseloroh 90 persen informasi di dunia maya berupa sampah.
Sebetulnya tidak sulit untuk melawan gangguan informasi itu. Tahap awal berpikirlah kritis dengan sikap skeptis. Lalu, gunakan nalar yang rasional, logis, tanpa pretensi, dan tidak bias. Dan, tentu saja klarifikasi materi informasi (konten). Becermin pada kasus hadits ifki yang hampir merusak rumah tangga Nabi Muhammad-Aisyah dan persatuan Muslim, kita melihat betapa hoaks itu seperti silent killer: berbahaya, licik, menyesatkan, dan menimbulkan dampak serius dalam senyap. Mumpung bulan Ramadhan, yuk makin membiasakan think before sharing, agar tidak menjadi bagian dari The Silent Killer
Comments ( 0 )