Festival Tenun Iban Sadap 2025: Merawat Alam, Menenun Pengetahuan
Festival Tenun Iban Sadap 2025: Merawat Alam, Menenun Pengetahuan
KABARINDO, SURABAYA - Komunitas masyarakat adat Rumah Panjang Iban Sadap di Kapuas Hulu menyelenggarakan Festival Tenun Iban Sadap 2025 pada 17–20 Desember 2025 di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Ini merupakan festival budaya yang merayakan kekayaan pengetahuan menenun, pewarna alam, serta hubungan masyarakat dengan hutan adat yang menjadi sumber hidup dan identitas budaya mereka. Festival ini merupakan implementasi yang tertuang dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah adat (PPWA) dan disusun bersama oleh masyarakat adat. Tenun, penggunaan pewarna alam, serta regenerasi penenun muda dipandang sebagai elemen penting dalam keberlanjutan adat, ekonomi keluarga dan perlindungan ekologis hutan adat.
Dengan tema “Merawat Alam, Menenun Pengetahuan” festival ini menghadirkan serangkaian kegiatan, mulai dari pameran tenun, workshop pewarna alam, kelas menenun, seminar budaya, pertunjukan seni, hingga kunjungan ke ruang hidup masyarakat adat.
“Festival ini bukan sekadar pameran kain. Ini adalah perayaan hubungan manusia, alam dan pengetahuan leluhur yang terus hidup di dalam rumah panjang kami,” ujar Moses Bungkong, Ketua Panitia Festival.
Tenun Iban Sadap dikenal karena kualitasnya yang rumit dan motif khasnya, juga filosofi yang terkandung di dalamnya. Motif tauk randau entimau, silup langit, karak jangkit, tersang pedara dan lainnya bukan sekadar pola visual. Setiap garis, warna dan motif merekam jejak memori leluhur, hubungan spiritual dengan alam, serta struktur sosial masyarakat adat.
Salah satu ciri paling khas dari tenun Iban Sadap adalah penggunaan teknik tradisional ikat, di mana benang diwarnai sebelum ditenun, sehingga menghasilkan motif yang presisi dan mendalam. Seluruh proses mulai dari memintal, mengikat motif, mewarnai hingga menenun, dilakukan secara manual dan membutuhkan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan untuk satu lembar kain. Warna-warna dalam tenun ini berasal dari tumbuhan hutan adat seperti mengudu (Morinda citrifolia) untuk warna merah, tarum (Indigofera tinctoria) untuk warna biru, serta kayu kuning, daun dan akar tertentu untuk menghasilkan variasi warna alam lainnya. Tidak hanya mempertahankan estetika tradisi, penggunaan pewarna alam menjadi simbol siklus keberlanjutan, di mana pewarna hanya dapat diperoleh jika hutan tetap lestari.
Tenun sebagai penjaga hutan dan warisan leluhur
Bagi masyarakat Iban Sadap, praktik menenun bukan hanya kegiatan produksi, tetapi tindakan merawat dan memperkuat hubungan dengan alam. Hutan adat menyediakan pewarna alam, bahan baku dan inspirasi motif, sementara tenun menjadi media untuk meneruskan nilai spiritual, kosmologi Iban dan kedekatan dengan alam kepada generasi muda.
“Kegiatan ini adalah implementasi nyata dari Perencanaan Pengelolaan Wilayah Adat masyarakat Sadap. Melalui tenun dan pewarna alam, masyarakat memperkuat identitas budaya sekaligus menjaga hutan adat sebagai sumber kehidupan,” kata Herkulanus Sutomo Manna, AMAN Kapuas Hulu.
Tenun menjadi bukti bahwa perlindungan hutan bukan hanya kewajiban ekologis, tetapi juga bagian dari keberlanjutan budaya, karena ketika hutan hilang warisan menenun pun ikut terancam.
Festival ini juga menjadi ruang bagi pecinta wastra, kurator, media, akademisi dan lembaga pelestari budaya untuk memahami filosofi motif Iban, mendukung regenerasi penenun dan memperkuat ekosistem ekonomi keluarga berbasis tradisi.
Foto: istimewa
Comments ( 0 )