Politik Tanpa Prinsip: Ketika Dukungan dan Penolakan Menjadi Komoditas

Politik Tanpa Prinsip: Ketika Dukungan dan Penolakan Menjadi Komoditas

Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute

Di tengah hiruk-pikuk politik, sering kali kita menyaksikan sebuah fenomena yang menggambarkan wajah pragmatis politik itu sendiri. Seorang tokoh yang dahulu dielu-elukan, dipuja, bahkan dipaksakan sebagai simbol keberhasilan, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang dikecam dan dijadikan sasaran kebencian. Pergeseran ini bukan karena perubahan substansial pada tokoh tersebut, melainkan lebih kepada kalkulasi kepentingan politik dari pihak yang berkepentingan. Fenomena semacam ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah politik kehilangan integritasnya?

Polarisasi Sebagai Alat Kekuasaan
Dalam politik, polarisasi sering kali menjadi senjata yang ampuh. Dengan memaksa orang untuk memilih sisi—mendukung secara mutlak atau membenci sepenuhnya—politisi dan kelompok kepentingan menciptakan narasi yang dapat menggiring opini publik. Namun, di balik itu, tersembunyi sebuah ironi. Narasi yang dibangun tidak lagi bersandar pada prinsip atau evaluasi objektif terhadap kebijakan, tetapi pada kebutuhan sesaat untuk mempertahankan atau meraih kekuasaan. Ketika seorang tokoh menguntungkan, ia menjadi simbol keberhasilan yang harus diterima oleh semua orang. Namun, ketika ia dianggap tidak lagi relevan, narasi bergeser, menciptakan atmosfer kebencian yang sama intensnya.

Krisis Nilai dalam Politik
Perubahan mendadak dari mendukung ke menolak ini mencerminkan krisis nilai yang mendalam dalam politik. Bukankah politik semestinya berakar pada prinsip-prinsip yang kokoh? Ketika dukungan atau penolakan menjadi komoditas yang diperjualbelikan demi keuntungan strategis, politik kehilangan ruhnya sebagai instrumen untuk melayani kepentingan rakyat. Yang tersisa hanyalah permainan manipulatif, di mana integritas digadaikan demi kemenangan jangka pendek.

Hal ini menimbulkan implikasi yang serius bagi masyarakat. Polarisasi yang diciptakan tidak hanya merusak harmoni sosial, tetapi juga membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap politik itu sendiri. Ketika kebenaran menjadi relatif, bergantung pada narasi yang sedang digulirkan, rakyat dipaksa untuk mengikuti alur permainan tanpa diberi ruang untuk berpikir kritis.

Mengembalikan Politik ke Akar Nilainya
Dalam menghadapi fenomena ini, penting untuk merefleksikan kembali esensi politik yang sejati. Dukungan terhadap seorang tokoh atau penolakan terhadapnya seharusnya didasarkan pada evaluasi rasional atas kebijakan, visi, dan integritas. Politik yang sehat adalah politik yang konsisten pada prinsip, di mana perbedaan pandangan tidak menjadi alasan untuk menciptakan kebencian, melainkan peluang untuk berdialog dan mencari solusi bersama.

Masyarakat juga memiliki peran penting untuk menuntut transparansi dan kejujuran dari para pemimpin dan kelompok politik. Kita perlu menolak narasi yang membabi buta dan menuntut ruang untuk berpikir dan menilai secara independen. Sebab, politik bukanlah tentang siapa yang menang atau kalah dalam permainan kekuasaan, melainkan tentang bagaimana kepentingan rakyat dapat terlayani dengan baik.

Ketika politik kembali menjadi alat untuk melayani, bukan memanfaatkan, barulah ia menemukan martabatnya. Hingga saat itu tiba, kita harus terus bertanya: apakah dukungan yang dipaksakan dan kebencian yang dimanipulasi adalah wajah politik yang ingin kita wariskan kepada generasi mendatang? Politik yang ideal adalah politik yang menciptakan ruang untuk berpikir, bukan ruang untuk dipaksa memilih antara dua ekstrem. Dan untuk mencapainya, semua pihak harus bersedia menata ulang langkah-langkahnya dengan kesadaran akan tanggung jawab moral yang jauh lebih besar.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Seseorang yang memujimu dengan sesuatu yang tidak kau miliki, maka kelak ia akan mencacimu dengan sesuatu yang tidak kau miliki.