Melawan Keputusan MK, Reformasi POLRI Cuma Omon-omon

Melawan Keputusan MK, Reformasi POLRI Cuma Omon-omon

Keputusan Kapolri yang menandatangani surat keputusan tentang penempatan polisi aktif di 17 kementerian dan lembaga negara menimbulkan gelombang kritik. Langkah ini dianggap sebagai kemunduran besar dalam agenda reformasi kepolisian yang sejak lama digadang-gadang sebagai pilar demokrasi.

Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya telah menegaskan bahwa jabatan struktural di kementerian dan lembaga negara bukanlah ruang bagi aparat kepolisian aktif. Putusan MK itu lahir dari semangat menjaga profesionalisme dan mencegah konflik kepentingan. Namun, keputusan Kapolri justru berlawanan arah.

Publik pun bertanya-tanya: apakah reformasi Polri hanya sekadar jargon tanpa makna? Ketika polisi aktif diberi ruang untuk mengisi jabatan sipil, maka garis batas antara aparat penegak hukum dan birokrasi pemerintahan menjadi kabur.

Sejarah reformasi kepolisian pasca-Orde Baru menekankan pentingnya pemisahan Polri dari militer serta pembatasan peran mereka di ranah sipil. Tujuannya jelas: agar Polri fokus pada tugas utama, yakni menjaga keamanan dan menegakkan hukum.

Dengan keputusan terbaru ini, publik melihat adanya upaya mengembalikan dominasi aparat berseragam dalam ranah pemerintahan sipil. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan lahirnya praktik otoritarianisme gaya baru.

Kritik keras

Kritik juga datang dari kalangan akademisi hukum. Seperti dikutip Republika, Fahri Bachmid, pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia, menegaskan bahwa putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat dan wajib ditindaklanjuti. Menurutnya, keputusan Kapolri yang membuka ruang bagi polisi aktif di jabatan sipil jelas bertentangan dengan prinsip hukum yang sudah final 

Selain itu, penempatan polisi aktif di kementerian dan lembaga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Bagaimana mungkin aparat yang seharusnya independen dalam penegakan hukum justru berada di posisi strategis dalam birokrasi sipil?

Keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen pemerintah terhadap reformasi sektor keamanan. Jika Polri kembali masuk ke ranah sipil, maka cita-cita demokrasi yang sehat dan berimbang akan semakin jauh dari harapan.

Tidak sedikit pihak yang menilai bahwa langkah ini adalah bentuk pelemahan terhadap prinsip checks and balances. Kehadiran polisi aktif di kementerian bisa membuka ruang intervensi yang berlebihan dalam kebijakan publik.

Pada akhirnya, keputusan Kapolri ini menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia. Apakah negara akan tunduk pada semangat reformasi dan putusan MK, atau justru membiarkan Polri kembali menguasai ranah sipil? Publik berhak menuntut konsistensi, sebab reformasi bukanlah omon-omon, melainkan janji yang harus ditepati.