Film “Yang Tak Pernah Hilang” Sebagai Memorialisasi Perjuangan HAM #MelawanLupa

Film “Yang Tak Pernah Hilang” Sebagai Memorialisasi Perjuangan HAM #MelawanLupa

Film “Yang Tak Pernah Hilang” Sebagai Memorialisasi Perjuangan HAM #MelawanLupa

Surabaya, Kabarindo- IKOHI dan #KawanHermanBimo akan melakukan pemutaran film dokumenter “Yang Tak Pernah Hilang” di bioskop Epicentrum 2, Jakarta.

Dalam upaya sosialisasi film dan pesan yang akan disampaikan melalui film ini, dilakukan jumpa pers di sekretariat KontraS di Jakarta pada Jumat, 21 Juni 2024.

Film Yang Tak Pernah Hilang lahir saat negara masih abai dan cenderung melupakan kejahatan masa lalu. Film muncul sebagai bentuk memorialisasi dan perjuangan #MelawanLupa. Memorialisasi adalah sebuah upaya merawat ingatan publik dalam bentuk fisik dan lainnya atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu dan sebagai bentuk penghormatan atas martabat korban.

Memorialisasi dapat berupa pendirian monumen, museum, penetapan hari besar peringatan peristiwa pelanggaran HAM, buku, monumen, film dan berbagai ekspresi kebudayaan lainnya. Memorialisasi juga merupakan sebagian pemenuhan hak korban atas pemulihan, membangun ruang ingatan kolektif untuk mengenang pelbagai peristiwa kelam pelanggaran HAM dan menjadi pembelajaran penting agar peristiwa serupa tidak berulang di masa depan. Dalam misi inilah, film Yang Tak Pernah Hilang dilahirkan.

Menurut Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, memorialisasi sebagai bentuk pemulihan kolektif dan simbolik. Tujuannya memberikan ruang bagi korban untuk menjelaskan masa lalu serta mengajak masyarakat untuk mengenang pengalaman masa lalu sebagai upaya untuk mencegah agar tak terulang.

Sementara itu, menurut Komisi HAM PBB, memorialisasi harus dipahami sebagai proses untuk memberikan ruang yang diperlukan bagi mereka yang terdampak pelanggaran HAM untuk mengartikulasikan narasi mereka. (A/HRC/25/49: Report on memorization processes in post-conflict and divided societies, 23 Januari 2014)

Film dokumeter Yang Tak Pernah Hilang lahir saat situasi politik dan HAM di Indonesia mengalami degradasi. Film ini sebagai memorialisasi yang mengingatkan publik, terutama generasi muda, bahwa korban-korban penculikan aktivis 1998 belum ditemukan dan mendapatkan keadilan.

Produser film yang juga Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Jawa Timur, Dandik Katjasungkana, mengatakan pembuatan film ini merupakan bagian dari upaya untuk mendesak pemerintah serta elit politik agar menyelesaikan kasus ini dan sebagai perjuangan #MelawanLupa.

“Film ini sebagai upaya menghidupkan kembali ingatan tentang kawan yang hilang dan tidak adanya upaya untuk mengungkap keberadaan mereka hingga kini,” ujarnya dalam rilis yang diterima pada Jumat (21/6/2024).

Dandik mengatakan, ide “Yang Tak Pernah Hilang” digagas pada 2019 dan selesai pada Februari 2024. Film ini diluncurkan pertama kali di Surabaya pada Maret 2024.

Jangan sampai isu besar kemanusiaan soal penghilangan paksa yang kami angkat dalam film ini akhirnya dianggap recehan,” ujarnya.

Menurut Zaenal Mutaqien, Sekjen IKOHI, film ini akan membantu generasi muda untuk mengetahui luka-luka sejarah di balik kisah heroisme gerakan reformasi 1998.

“Film ini adalah alat perjuangan melawan lupa. Kisah kelam kekuasaan yang menggunakan militer untuk menculik para ativis reformasi, penting bagi kaum muda agar tidak terulang di masa depan,” ujarnya.

Utomo Rahardjo, ayah dari Bimo Petrus, menyambut penuh haru kehadiran film ini. “Seperti energi baru untuk berjuang bagi anak saya yang masih hilang. Upaya mengingat Bimo dan Herman melalui film ini menjadi kekuatan tersendiri bagi saya,” ujarnya.

Keluarga Herman Hendrawan di Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menyebut film ini membuat sosok Herman seolah selalu hidup. Hera Haslinda, kakak Herman, mengatakan film ini menegaskan bahwa Herman tidak pernah hilang dari ingatan dan hati semua orang terdekatnya.

Muhammad Iqbal, dosen FISIP Universitas Jember dan kawan dua aktivis tersebut, menyebut hilangnya Herman dan Bimo adalah tragedi kemanusiaan. “Film Yang (Tak Pernah) Hilang ini harus dilihat dalam konteks sejarah masa depan, bagaimana peradaban dibangun dengan tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan, yang sampai hari ini absen. Problem besarnya adalah bagaimana mengungkap peristiwa kemanusiaan ini,” katanya.

Foto: istimewa