GUS YAHYA MEMILIH RAHMAH
Gus Dur kembali. Bukan hidup kembali, tapi mengejawantah pada Kiai Yahya Cholil Staquf yang baru saja terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Muktamar NU di Lampung.
Ya, kiai muda NU ini sedari dulu disebut penerus Gus Dur yang humanis, cerdas, bergaul di kalangan luas, dan berani melawan arus membela apa yang dianggapnya benar. Ia bahkan pernah menjadi Juru Bicara Presiden Gus Dur.
Semasa hidupnya, Gus Dur tiga kali berkunjung ke Israel. Sepeninggal Gus Dur, Kiai Yahya Cholil Staquf meneruskan misi almarhum melanjutkan dialog dan perdamaian umat Islam dan Yahudi.
Gus Yahya mengunjungi Israel pada bulan Juni 2018, atas undangan komunitas Yahudi Amerika. Kepergiannya itu sempat menuai kritik di tanah air, cela-celaan, bahkan fitnah. Semuanya menilai Gus Yahya tak peka terhadap tindakan Israel atas Palestina.
Saya menonton lagi video Gus Yahya yang berbicara di hadapan 2.400 orang peserta diskusi America Jewish Commitee (AJC) di Yerusalem. Gus Yahya yang bersongkok hitam, duduk di panggung bersama moderator Rabi David Rosen. Dalam bahasa Inggris yang fasih, ia begitu tangkas menjawab pertanyaan pengantar sang rabi.
Pertanyaan Rabi David ini misalnya: “Anda dan Gus Dur selalu menekankan pentingnya memerangi ekstremisme dan mempromosikan pendekatan yang lebih humanis. Apakah menurut Anda Indonesia memiliki sesuatu yang bisa diberikan pada dunia?”
Gus Yahya menjawab panjang lebar: “Ini bukan tentang menawarkan sesuatu dari Indonesia. Karena Indonesia sendiri bukannya sudah terbebas dari masalah. Kami memiliki masalah kami sendiri.”
Berbagai Konflik
Kata Gus Yahya, dunia tengah menghadapi berbagai konflik. Dan di dalam konflik-konflik itu, agama hampir selalu digunakan sebagai senjata untuk menjustifikasi konflik. Kita, kaum beragama, kata Gus Yahya, mesti bertanya pada diri kita sendiri, “Apakah ini benar-benar fungsi yang sebenarnya dari agama?”
Bagi Gus Yahya, mengatasi konflik (yang tak berujung Islam dan Yahudi) itu, hanya tersisa satu pilihan: kita memilih Rahma, kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Setelah itu, baru berbicara soal keadilan. “Jika saya harus berseru pada dunia, aku ingin menyerukan pada dunia: Mari Memilih Rahmah.”
Begitulah. Suara Gus Dur yang selalu menempuh jalan damai, berdiri sebagai tameng kaum minoritas, kita temukan dalam diri Gus Yahya, pemimpin baru organisasi Islam terbesar di tanah air yang memiliki 540 cabang di seluruh Indonesia.
Saat menyampaikan keinginannya memimpin NU, Gus Yahya menegaskan kembali agendanya, yakni tetap membawa NU yang menegakkan Islam berperadaban, toleran, moderat, santun, dan ramah. Anti-radikalisme, anti-ekstremisme, apalagi terorisme. Pokoknya, NU di tangan Gus Yahya akan tetap menjadi perisai bagi keindonesiaan, kemajemukan, dan kemanusiaan.
Selamat, Gus. Semoga jalan Gus Yahya senantiasa dalam perlindungan Allah SWT.
Comments ( 0 )